Logo BBC

Rawan Kelaparan saat Pandemi Covid-19, Warga Papua Berkebun Massal

Lebih dari dua juta warga Papua dan Papua Barat terancam kelaparan jika pengiriman logistik dari luar daerah, khususnya beras, terganggu pada masa pandemi virus corona (Covid-19), ujar seorang peneliti.

Untuk mencegah hal itu, sejumlah warga melakukan kegiatan berkebun massal untuk mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri.

Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat masing-masing mengatakan hingga kini stok pangan masih aman.

Namun, warga disarankan untuk memanfaatkan pekarangan untuk berkebun demi ketahanan pangan di masa pandemi.

"Saya minta kabupaten dan kota untuk sosialisasi, manfaatkan pekarangan terutama yang di desa-desa," ujar Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua, Semuel Siriwa.

Gotong royong siapkan kebun

Suatu sore yang sejuk di daerah pegunungan Distrik Wouma, Kabupaten Jayawijaya, Papua, suara bising alat pemotong rumput beradu dengan suara golok yang diayunkan puluhan pemuda pada rumput-rumput setinggi lutut orang dewasa.

Rumput-rumput kering berwarna kecoklatan bertumpukan di lahan itu, tapi para pemuda itu belum berhenti bekerja.

Sudah beberapa minggu belakangan, warga Distrik Wouma, Jayawijaya, sibuk menyiapkan kebun untuk ditanami bahan pangan.

Mereka berencana menanam tanaman pangan khas Papua, yakni petatas (ubi), keladi (bete), singkong, serta sayuran.

"Sebelumnya, banyak yang main togel, judi, di pasar. Sekarang setelah pandemi harus berkebun untuk mencegah rawan pangan dan kelaparan," ujar Raimondus Mote, 38, warga distrik Wouma yang ikut berkebun.

Raimondus, mahasiswa pascasarjana di Universitas Cenderawasih, Papua, itu mengatakan kerja dilakukan oleh lebih dari 40 pemuda sejak pukul 05.00 pagi hingga 17.00 sore.

Pekerjaan minggu pertama adalah membabat rumput dan membuat pagar kebun di lahan tidur.

Pada pekan-pekan berikutnya, pekerjaan akan dilanjutkan dengan membakar rumput, mencangkul, dan menanam benih.

Kegiatan berkebun massal itu sebelumnya sudah diarahkan oleh kepala distrik.

Namun, kata Raimondus, warga tidak bekerja karena terpaksa.

"Ini dengan sukarela dan kesadaran penuh untuk kerja. Tak ada paksaan. Antusiasime warga cukup tinggi, luar biasa," ujarnya.

Gerakan berkebun massal juga dilakukan di Timika, Papua, ujar seorang warga Selianus Natkime.

Di lahan di mana mereka harus menebang pohon demi membuka lahan berkebun, ia mengatakan kegiatan itu dilakukan sesuai kearifan lokal.

"Pohon-pohon yang besar tidak usah di tebang, tetapi pohon yang kecil di bawah pohon besar itu yang ditebang supaya hutan terlindung," kata Selianus.

Tradisi orang tua

Di daerah perkotaan, Jayapura, gerakan serupa tengah berjalan di rumah-rumah warga. Salah satunya, di pekarangan Maria Ojaba, 42.

Sebelum pandemi Covid-19, hari-hari Maria biasanya disibukkan oleh bisnisnya menyewakan peralatan untuk pesta, seperti kursi juga tenda.

Namun, tiga bulan belakangan ini, setelah pemerintah menetapkan aturan pembatasan sosial, otomatis usahanya tak beroperasi.

Tanpa kesibukan seperti biasa, Maria menyibukkan diri di pekarangan rumahnya untuk berkebun, tradisi yang disebutnya diajarkannya oleh orang tuanya.

Baginya berkebun membantunya menghemat di tengah masa sulit tanpa pemasukan.

"Ada sayur, uang bisa kami belanjakan yang lain," ujarnya.

Meski keadaannya sulit, Maria mengatakan ia mencoba mengambil hikmah dari pandemi ini.

"Virus corona ini berbahaya tapi ada sisi positifnya... Jadi ada waktu bercocok tanam kembali. Dengan ada begini, kita sama-sama melihat ke belakang, ke kebiasaan orang tua dulu."

"Saya belajar dari mereka. Karena keadaan sekarang, saya termotivasi, `harus tanam, harus tanam`," ujarnya.

Sejumlah kelompok masyarakat, seperti Papua Chef Jungle di Papua serta Bentara Papua yang bermarkas di Manokwari, Papua Barat, juga melakukan pembagian bibit pada masyarakat untuk memotivasi mereka berkebun.

Charles Toto, pegiat pangan lokal Papua mengatakan, mengatakan pandemi ini bisa menjadi momentum bagi warga untuk kembali pada tradisi berkebun.

"Sudah saatnya kita kembali ke kebiasan nenek moyang kita; kebiasan konsumsi, kebiasaan pangan, dan kembali ke tanaman-tanaman," ujarnya.

"Kita juga pikirkan ke depan untuk mengolah apa yang ada di tanah kita supaya kita tidak kekurangan makanan."

Ketergantungan pada beras

Papua dan Papua Barat adalah dua provinsi dengan indeks ketahanan paling buruk di Indonesia, menurut data kementerian pertahanan tahun 2019.

Agus Sumule, dosen Fakultas Pertanian Universitas Papua di Manokwari mengatakan, sebanyak 51% warga di Papua dan 75% di Papua Barat menggantungkan hidup pada bahan pangan yang datang dari luar tanah Papua, khususnya beras.

Jika ada gangguan logistik pangan akibat pandemi, menurut perhitungan Agus Sumule, sekitar 2,4 juta masyarakat di kedua provinsi itu "terancam kelaparan".

Maka, ujar Agus, menanam adalah salah satu cara mengantisipasi kelaparan dan kesulitan pangan.

"Saya katakan, jangan tunda, harus segera menanam," ujarnya.

"Di lingkup nasional, kita dianggap bukan daerah yang punya ketahanan yang baik karena ketergantungan makanan dari luar. Maka dalam pandemi ini, kondisi ketahanan pangan sangat rawan," ujar Agus.

Di akhir April, defisit beras di tujuh wilayah, sempat diumumkan oleh Presiden Joko Widodo.

Salah satu wilayah itu adalah Papua Barat, sebagaimana diumumkan oleh Bulog kemudian, meski di pertengahan Mei, pemerintah mengklaim telah memenuhi stok beras di daerah itu.

Sebelumnya, Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) Budi Waseso mengatakan pihakya akan menyiapkan sagu, jika terjadi kekurangan beras di Indonesia bagian timur.

`Gara-gara raskin`

Ketergantungan masyarakat di tanah Papua terhadap beras terjadi sejak kepempimpinan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang memperkenalkan program raskin, ujar Agus Sumule.

Saat itu, kata Agus, beras dijual sangat murah hingga pernah mencapai Rp1.500 per kilogram, hingga membuat warga merasa tak perlu menanam bahan pangan.

"Bagaimana mau rangsang warga terus tanam? Kalau beras begitu murahnya apa gunanya dia menanam lagi? Itu masalahnya," ujar Agus.

"Kita mesti tinjau kebijakan yang keliatannya populis, tetapi sebenarnya mematikan produktivitas masyarakat."

Padahal, menanam tanaman lokal sebetulnya lebih sederhana dan tidak membutuhkan area yang terlalu luas, ujar Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Holtikultura Provinsi Papua Barat, Yacob Fonataba.

"Padi itu kan agak spesifik, harus bentuk pematang, butuh air irigasi, pengaturan pupuk, pengendalian organisme pengganggu tanaman," ujar Yacob.

"Tapi kalau pangan lokal, luas tanah yang tersedia di Papua Barat sangat luas."

`Generasi nasi`

Ketergantungan pada beras, ujar Charles Toto dari Papua Jungle Chef, juga mengubah pola pikir masyarakat.

Ia mengatakan di banyak tempat di Papua, nasi dianggap makanan yang lebih spesial dibandingkan makanan lokal lain.

"Anak-anak yang makan nasi dianggap attitude-nya (perilakunya) lebih baik," ujar Charles.

Padahal, pangan lokal, seperti papeda, kata Charles, terbukti sangat menyehatkan.

Momentum berkebun massal ini lah yang akan dimanfaatkan sejumlah warga untuk membiasakan generasi muda memakan makanan lokal, seperti yang dikatakan Andreas Deda, warga Amban, Manokwari Barat.

Ia menyebut anak-anak sekarang `generasi nasi` yang mengatakan `belum makan kalau belum makan nasi`.

"Kami menanan sambil konsumsi dan sebaliknya untuk menjelaskan umbi sebagai makanan asli yang mengandung karbohidrat sama dengan nasi," ujar Andreas menirukan apa yang diajarkannya pada putrinya yang berusia 11 tahun.

Meski begitu, Agus Sumule menekankan, yang penting bukanlah makanan lokal atau tidak lokal, tapi kemampuan warga menyediakan bahan pangan mereka sendiri.

"Yang penting beras tidak dibuat terlalu murah sehingga yang lain-lain tak lagi ditanam. Itu artinya dia mematikan potensi lokal. Kalau beras harga normal, orang punya pilihan," ujarnya.