Kisah Pekerja Pabrik Tak Bisa Lebaran dengan Anak karena Wabah Corona
"Kita berpisah ketika dia masih kecil, awalnya [saya] mau [kerja] di sana, cuma kalau di kampung cari uangnya agak susah, kalau di sini kan saya bisa [kerja] buat keperluan dia, di sini saya karyawan tetap, sayang, cari kerja susah. Jadi ya waktu itu sedih, saya menangis pertama kali [meninggalkan] dia di sana," ujar Ratih.
"Biasanya sih [saya] setahun itu pulang dua kali, saat dia ulang tahun saya kadang pulang, sama Lebaran...begitu saja, terus kalau ada acara keluarga, pernikahan atau apa, baru pulang karena ambil cuti susah."
Meski banyak orang tidak bisa bertemu dengan keluarganya pada Lebaran tahun ini, larangan mudik terasa lebih menyedihkan bagi Ratih yang telah lama tidak bertemu anak satu-satunya.
"Saya merasa karena saya single [parent], saya merasa kalau tidak ada orang tua, Lebaran itu seperti apa gitu, sedihnya dia, melihat teman-temannya ada orang tuanya, walaupun dia sama kakak saya, tapi kan beda sama saya. Saya orang tua satu-satunya, jauh, dia tidak punya [ayah], perasaan saya sedih lah," ujar Ratih.
Ratih juga tidak bisa melihat anaknya dengan leluasa karena Fahmi tidak memiliki handphone. HP yang ada di rumah adalah milik saudaranya. Saat ingin melakukan panggilan video hari itu, Ratih harus menunggu lama sampai saudaranya mengisi kuota internet.
Dalam panggilan videonya dengan Ratih, Fahmi mengatakan ia ingin sekali memeluk ibunya.
"Kalau tahun lalu [Lebaran] kan ada ibu, enak, kalau sekarang misah [karena ibu] dikarantina [karena virus] corona," kata Fahmi.
Panggilan video antara ibu dan anak itu terinterupsi beberapa kali oleh sepupu Fahmi dan pamannya. Karena Fahmi sudah lama tinggal dengan kakak Ratih, Fahmi pun memanggil tante dan pamannya sebagai "mamak dan bapak."