Pulau Jawa Tertinggi Angka Kasus Perkawinan Anak di Indonesia
- VIVA/Yasir
VIVA – Child Protection Officer UNICEF Indonesia, Derry Fahrizal Ulum, menyebut bahwa angka kasus perkawinan usia anak di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, tertinggi di antara provinsi lain di Indonesia.
Karena itu, jika masalah perkawinan anak di Pulau Jawa selesai, maka sama halnya pemerintah telah berhasil menekan hampir 50 persen beban kasus perkawinan anak secara nasional.
Hal itu disampaikan Derry dalam webinar bertema 'Pandemi Covid-19 dan Pencegahan Perkawinan Usia Anak di Jatim' pada Rabu sore, 20 Mei 2020.
"Meskipun prevalensi tertinggi diduduki Provinsi Sulawesi Barat, namun secara absolut, ranking tertinggi perkawinan usia anak di Indonesia ditempati Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah," katanya dalam keterangan tertulis diterima Kamis, 21 Mei 2020.
Di Jatim, lanjut dia, sebanyak 12,71 persen anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Secara nasional, menurut data Survei Susenas 2008-2018, penurunan presentase perkawinan di bawah 18 dan 15 tahun cenderung lambat dalam 10 tahun terakhir. Sementara berdasarkan proyeksi Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015, diperkirakan perkawinan anak perempuan mencapai 1.220.900.
Apakah ada keterkaitan dengan masa pandemi Covid-19 dengan naik-turunnya angka kasus perkawinan anak? Derry menyebutkan, berdasarkan rilis dari lembaga-lembaga di United Nation (PBB) menyebutkan saat ini masih terlalu dini mengaitkan antara naiknya angka perkawinan usia anak dengan terjadinya pandemi Covid-19. "Namun jika dalam jangka panjang akan mungkin ini berkorelasi," ujarnya.
Sementara itu, penanggung jawab Program Geliat Universitas Airlangga Surabaya, Nyoman Anita Damayanti, menyatakan bahwa pengetahuan masalah kesehatan reproduksi itu sangat penting bagi setiap perempuan untuk menekan angka kasus pernikahan anak. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, semakin tinggi pendidikan perempuan, maka mereka cenderung untuk tidak menikah di usia dini.
"Namun demikian, tingginya pendidikan seorang perempuan, tidak menjamin pengetahuan mereka seputar kesehatan reproduksi juga tinggi. Ini yang harus diwaspadai," ujar Nyoman Anita Damayanti yang juga sebagai pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair Surabaya tersebut.
Presidium Jaringan AKSI, Rani Hastari, menyebutkan terkait upaya menekan angka perkawinan usia anak, banyak kebijakan-kebijakan di daerah yang alih-alih melindungi kaum perempuan ternyata justru membuat diskriminasi.
"Alih-alih melindungi anak, ternyata banyak aturan yang justru membatasi ruang tumbuh kembang anak," katanya.