UU Minerba Disahkan, Kadis ESDM Jatim: Bertentangan dengan UU Otoda
- VIVA/Nur Faishal
VIVA – Undang-undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau UU Minerba telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI pada 12 Mei 2020 lalu. Beleid itu disahkan saat masyarakat fokus pada pandemi Covid-19.
Pengesahan UU Minerba itu pun menuai polemik. Bahkan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur menilai UU tersebut bertentangan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otoda).
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Timur, Setiajid mengatakan, UU Minerba yang baru disahkan itu menimbulkan kebingungan pada tataran pelaksanaannya di daerah. Di antaranya terkait kewenangan izin pertambangan.
“Masih perlu didiskusikan kembali bersama Kemendagri,” katanya kepada wartawan dikutip Kamis 21 Mei 2020.
Soal kewenangan perizinan misalnya, UU Minerba menyuratkan bahwa penguasaan minerba diselenggarakan oleh pemerintah pusat, melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Sementara pemerintah daerah hanya berwenang dalam hal izin batuan berskala kecil dan izin pertambangan rakyat atau IPR.
Sementara pada UU Otoda, kewenangan izin pertambangan berada di tangan pemerintah daerah. Setiajid mengatakan, UU Minerba efektif dilaksanakan dua tahun setelah disahkan. Selama belum efektif, maka kewenangan tetap berada di tangan pemerintah daerah. Ia mengaku tidak tahu apakah di sela-sela itu bakal ada pembahasan tentang pengubahan UU Otoda atau tidak.
“Kami tidak tahu apakah UU Nomor 23 Tahun 2014 itu akan dilakukan perubahan atau tidak,” ujarnya.
Selain soal ketumpang-tindihan dengan UU Otoda, Setiajid menilai UU Minerba justru memperpanjang alur birokrasi dalam hal izin pertambangan. Sebab, papar dia, selain meminta IPR ke pemerintah provinsi, pengusaha juga harus meminta izin pokok ke pemerintah pusat. Namun, hal itu bisa diatasi jika kemudian pemerintah pusat mendirikan kantor perwakilan provinsi.
Pada prinsipnya, Pemprov Jatim mematuhi UU Minerba yang baru disahkan tersebut. Kendati begitu, Setiajid meminta agar sosialisasi dilakukan secara rinci. Apalagi, selain soal kewenangan izin, di undang-undang tersebut juga diatur soal pengelolaan hasil tambang yang ada di tangan pemerintah pusat.
“Sampai sekarang kami tidak pernah diajak bicara,” tandas Setiajid.