Kisah Pengurus Masjid Hadapi Krisis Wabah Corona selama Ramadhan
Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akibat pandemi Covid-19 menyebabkan masjid-masjid ditutup untuk umat dan salat berjemaah ditiadakan. Di Jakarta, aturan tersebut diperpanjang hingga 22 Mei. Hal ini antara lain berdampak langsung terhadap penghidupan para marbot, atau pengurus masjid.
Mardani bin Muhammad adalah seorang marbot di Masjid At-Taubah di Pancoran, Jakarta Selatan. Mardani sudah 16 tahun bekerja di masjid itu.
Ia mengatakan bahwa Ramadan tahun ini adalah yang paling berat baginya.
"Semua orang juga dapat musibah. Ya, yang kerja di PHK, semua diistirahatkan, ya semuanya kan berkurang penghasilannya, otomatis di masjid gitu juga," ujar Mardani kepada BBC News Indonesia.
Sebagai marbot, ayah dari empat anak itu mengatakan ia diberi gaji Rp1 juta setiap bulan. Selebihnya, ia mengatakan pendapatannya berasal dari jamaah yang datang beribadah.
Sebelum wabah merebak, Mardani sebut ia bisa menerima sekitar Rp300.000 hingga Rp400.000 setiap minggu di luar gaji pokok.
Jumlah itu pun bisa meningkat pada masa Ramadan.
"Tahun-tahun sebelumnya kan ramai di sini, acara buka [puasa] ada, ada santunan-santunan. Sore acara buka Maghrib bersama, dan lebih dari 100 orang ada di sini tiap Maghrib," tutur pria berusia 52 tahun itu.
Ia menceritakan bagaimana keramaian itu sebelumnya turut membawa berkah tambahan.
"Biasanya kan abis salat tarawih dikasih honor sekian. Ya cukuplah untuk membeli makan sahur. Sekarang kan salat tarawih tidak dibolehkan. Sekarang tidak ada sama sekali," tambahnya.
Bulan Ramadan yang biasa membawa keceriaan kini berubah drastis bagi Mardani dan keluarganya.
"Biasanya semua udah rapih. Anak-anak biasa hari-hari gini udah rapih, udah pada beli baju buat lebaran. Sejak masuk masa corona, (beda) dari tahun-tahun lalu. Istri saya sebelumnya sudah gak mikirin lagi buat lebaran. Sekarang belum (siap) sama sekali," kata Mardani.
Pandemi yang berkepanjangan juga menimbulkan kecemasan tentang masa depan keluarganya.
Kendati demikian, Mardani merasa bersyukur masih bisa bekerja dan mencari nafkah.
"Alhamdullilah ya sekarang, ya kita bersukur aja dikasih ini yah kita bersyukur. Ya abis mau gimana lagi? Karena ada wabah corona ini, jadinya kita harus maklum," katanya.
Marbot adalah satu dari sekian banyak profesi yang terdampak oleh pandemi Covid-19. Bahkan jutaan orang kini harus kehilangan pekerjaannya.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jika pandemi Covid-19 berlansung sampai Agustus 2020, jumlah angka pengangguran di Indonesia akan semakin tinggi, yakni melampaui 4,8% hingga 5%.
`Syukuri saja yang ada`
Kisah serupa juga dialami Nanang Syaifudin, seorang marbot yang bekerja di Masjid Said Na`um di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Pria berusia 31 tahun itu menerima gaji Rp2 juta setiap bulan untuk tugasnya yang juga merangkup muadzin dan imam salat selama lima tahun terakhir.
Masjid yang berada di tengah-tengah zona merah wabah itu sudah dikunci sejal awal April. Sehingga, pendapatan tambahan Nanang yang berasal dari sumbangan jamaah pun menjadi tidak menentu.
"Biasanya kan bisa ngasih ke istri, beli ini itu seperti baju ke orang tua, ke kerabat," ujar ayah dari satu anak itu.
Pria asal dari Ciamis, Jawa Barat, itu juga terpaksa menjalankan bulan puasa terpisah dari istri dan anaknya.
Lebih lagi, suasana sepi masjid membuat Nanang rindu salat tarawih berjemaah.
Walaupun demikian, Nanang tetap bersabar menanti agar wabah lekas berlalu.
"Sekarang saya juga di sini yah nggak bisa apa-apa, cuma bisa segini lah. Yah mudah-mudahan musibah ini cepat diangkat sama Allah. Dan apabila yang kena, mudah-mudahan dikasih kesabaran. Dan Allah mengangkat ini menjadikan pahala, dan ini mudah-mudahan cepat selesai, semoga habis lebaran cepat tuntas," ujar Nanang.
Kekhawatiran memang sempat melintasi benaknya jikalau masjid terus terkunci dan jamaah pun tidak kunjung datang.
"Syukuri saja yang sudah dikasih. Biar Allah yang mencukupi di akhirat," tuturnya.
Kas masjid kian `mepet`
Menurut sekretaris panitia pengurus Masjid Said Na`um, Sumarno, PSBB memang berdampak besar terhadap keuangan masjid. Isi kas pun semakin tergerus, jelasnya.
"Yah kalau sekarang keuangan ya memang masjid itu ya agak repot ini karena karyawan harus dikasih terus, kemudian rekening listrik jalan terus, pemasukan dari jamaah nggak ada. Yah sekarang sudah mepet banget," kata Sumarno.
Ia menambahkan bahwa pihak panitia dan yayasan masjid akan membahas strategi untuk jangka panjang.
"Sekarang kita udah punya bayangan ini kalau lama-lama jamaah nggak bisa masuk, ya repot itu kas masjid," ujar Sumarno.
Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengatakan pihaknya turut memantau kondisi masjid-masjid di tengah wabah, termasuk kesejahteraan marbot.
"Masjid-masjid itu tetap memerlukan tenaga, misalnya marbot untuk kebersihan, karena itu marbot-marbot ini memang juga mendapatkan insentif tetap dari masjid itu, itu belangsung biasa. Hanya memang ada yang memadai, ada juga yang kurang," kata Sekretaris Jenderal DMI, Imam Addaruqutni.
Ia sebut bahwa DMI berkomunikasi dengan beberapa lembaga yang dapat membantu marbot selama pandemi, seperti Badan Amil Zakat Nasional.
Walaupun demikian, Imam mengatakan pihaknya belum menganjurkan agar masjid dapat beroperasi lagi demi mencegah penyebaran Covid-19.
"Kita juga tetap memberikan satu anjuran untuk tetap berhati-hati terutama dalam menjaga ketertiban lingkungan," tutur Imam.
Sementara itu, Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi membuka opsi relaksasi pembatasan untuk rumah ibadah.
Hal itu ia utarakan dalam menanggapi pertanyaan dari beberapa anggota Komisi VIII terkait pelaksanaan pembatasan aktivitas agama di rumah ibadah dalam rapat kerja secara virtual dengan Komisi VIII DPR pada Senin (11/05).
Namun, Fachrul mengakui bahwa hal itu masih sebatas tahap pembahasan di dalam kementerian.