Kronologi Meninggalnya ABK WNI yang Diduga Mengalami Perbudakan
VIVA – Sebanyak 14 Warga Negara Indonesia (WNI) yang menjadi anak buah kapal (ABK) di Kapal China, telah tiba di Indonesia. Setelah mendapatkan perlakuan dugaan perbudakan, mereka semua langsung menjalani pemeriksaan kesehatan dan isolasi mandiri selama dua pekan dengan protokol penanganan Covid-19.
Tim kuasa hukum para ABK yang tergabung dalam DNT Lawyers mengungkap fakta-fakta dan kronologi meninggalnya empat kru bernama Sepri, M Muh Alfatah, Ari dan Effendi Pasaribu.
Dalam laporan ini disebutkan bahwa kapal tersebut beroperasi sejak 15 Februari 2019, dan selama lebih dari 13 bulan beroperasi di Perairan Samoa tepatnya di wilayah RFMO Western & Central Pacific Fisheries Commission.
Kapal yang tak pernah bersandar ke daratan itu, pada Desember 2019, disebut ada dua orang ABK bernama Sepri dan Alfatah meninggal disebabkan oleh penyakit misterius yang memiliki ciri-ciri sama, yakni badan membengkak, sakit pada bagian dada, dan sesak napas. Mereka mengalami sakit selama 45 hari sebelum meninggal.
Selanjutnya, korban berikutnya menimpa ABK bernama Ari. Pada Maret 2020, dia mengalami sakit yang sama selama 17 hari sebelum akhirnya meninggal pada 30 Maret 2020.
Selama sakit, kapten kapal hanya memberikan obat-obat yang tidak dapat dipahami ABK Indonesia karena tertulis dalam bahasa China, juga diduga telah kedaluwarsa. Kapten juga menolak permintaan para ABK Indonesia untuk membawa temannya yang sakit ke rumah sakit di Samoa.
"Pada masa kritis itu, Alfatih dipindahkan ke Kapal Long Xing 802, dan Sepri ke Long Xing 629. Mereka meninggal di kedua kapal tersebut. Para ABK Indonesia telah meminta agar jenazah rekan mereka disimpan di tempat pendingin agar dapat dibawa pulang ke Indonesia. Namun, kapten kapal menolak dan justru melarung jenazah tersebut ke tengah laut," kata kuasa hukum 14 ABK WNI yang selamat, Dalimunthe & Tampubolon (DNT) Lawyers, lewat keterangan tertulis, Senin, 11 Mei 2020.
Adapun, rincian mengenai meninggalnya tiga ABK Indonesia tersebut yakni Sepri meninggal pada 21 Desember 2019, tempat meninggal di Long Xing 629 dan dilarung juga bersamaan pada tanggal kematiannya. Lalu, korban atas nama M Muh Alfatah meninggal 27 Desember 2019, meninggal di Long Xing 802 dan dilarung di tanggal kematiannya juga. Terakhir, Ari meninggal dan dilarung pada tanggal 30 Maret 2020 di kapal Tian Yu 8.
Selanjutnya, DNT Lawyers mengatakan, satu ABK WNI lainnya bernama Effendi Pasaribu meninggal dunia ketika kapal berlabuh di Busan, Korea. Effendi sebetulnya sudah merasakan ciri-ciri penyakit yang sama dengan tiga ABK WNI yang meninggal sebelumnya, sejak Februari 2020 atau dua bulan sebelum kapal mereka berlabuh di Busan.
Namun, Otoritas Imigrasi Korea Selatan mengharuskan ABK tetap berada di atas kapal selama 10 hari sebagai bagian dari Protokol COVID-19.
Para ABK baru diizinkan turun kapal pada 24 April, kemudian mereka menjalani karantina COVID-19 selama 14 hari di Hotel Ramada. Karantina itu difasilitasi oleh agen awak kapal Fisco Marine Corporation Busan.
Di saat itulah, penyakit Effendi baru diketahui. Tepatnya pada 26 April malam, Effendi dibawa ke Unit Gawat Darurat Busan Medical Centre karena kondisinya yang semakin kritis. Effendi akhirnya meninggal pada 27 April 2020 pagi waktu Busan.
"Setelah berlabuh di Busan untuk menjalani karantina 14 hari di Hotel Ramada, ABK Effendi Pasaribu mengalami sakit misterius yang sama dengan rekan-rekan terdahulu. Sayangnya, Effendi tidak langsung dibawa ke rumah sakit, padahal gejala badan bengkak dan sesak napas sudah dirasakan Effendi Pasaribu sejak Februari 2020, atau 2 bulan sebelum berlabuh di Busan. Baru pada 26 April malam Effendi dibawa ke UGD Busan Medical Centre karena kondisinya yang semakin kritis. Namun, akhirnya, Effendi meninggal pada 27 April 2020 pagi waktu Busan," ucapnya.
Dugaan Perdagangan Orang
Dalam dugaan sementara, para ABK WNI itu diduga mengalami eksploitasi dan menjadi korban perdagangan orang. Mulai dari jam kerja dalam sehari selama 18 jam hingga 48 jam tanpa istirahat, ketika berlayar tidak pernah berlabuh di daratan. Disinyalir kapal itu melakukan aktivitas ilegal, sebab itu tidak merapat agar menghindari petugas.
Sehari-hari ABK itu hanya diberikan air minum sulingan dari air laut. Air bersih hanya dikonsumsi untuk ABK China, dua orang ABK Indonesia mengalami kekerasan fisik oleh wakil kapten dan ABK senior Tiongkok, gaji selama tiga bulan pertama tidak diberikan secara utuh karena alasan biaya administratif.
Padahal, menurut ketentuan dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pembebanan biaya rekrutmen kepada pekerja merupakan tindak pidana.
Kemudian, pembayaran gaji tidak sesuai kontrak. Selama 13 bulan mereka hanya digaji Rp1,7 juta, padahal seharusnya ABK berhak mendapatkan minimum USD300 setiap bulan. ABK sering diberi makanan berupa umpan ikan yang bau sehingga mereka mengalami gatal dan keracunan makanan.
ABK Indonesia diberi makanan berupa sayur-sayur dan daging ayam yang sudah berada di freezer sejak 13 bulan. Sedangkan ABK Tiongkok selalu makan dari bahan masih segar yang disuplai dari kapal lain dalam satu grup. Koki Tiongkok membuat 2 pembagian masakan, yaitu makanan khusus ABK Tiongkok yang seluruhnya lebih segar dan menggunakan air minum botol, dan makanan khusus ABK Indonesia dengan makanan lama yang tidak segar dan berbau.
Kontrak kerja (Perjanjian Kerja Laut) memuat unsur yang membuat ABK berada dalam kondisi rentan, antara lain jam kerja tidak terbatas. Semuanya ditentukan kapten, hanya boleh makan makanan yang disiapkan, tidak boleh komplain walau yang ada tidak layak atau bertentangan dengan agama, tidak boleh membantah perintah apapun dari kapten, tidak boleh melarikan diri dari kapal.
Dan yang terakhir, kontrak kerja memuat informasi yang tidak benar, seperti misalnya dalam kontrak disebut kapal berbendera Korea Selatan, nyatanya kapal berbendera Tiongkok. Dalam hal ini, kuasa hukum mendukung sikap pemerintah yang telah bergerak cepat untuk melakukan pendampingan, pemulangan dan membentuk tim untuk investigasi mendalam terhadap kasus ini.