Kisah Miris Ibu Empat Anak, Lumpuh di Tengah Pandemi Corona
VIVAnews - Di tengah dampak pandemi virus corona atau Covid-19, seorang ibu bertahan hidup dari belas kasih tetangga. Bukan tak mau mencari kerja, tubuh wanita bernama Apriyanti ringkih akibat lumpuh tak kuasa berjalan sejak melahirkan si bungsu anak keenamnya.
Tulang punggung Yanti melengkung sejak dua tahun lalu, sehari-hari ia hanya mampu merangkak.
"Kalau jalan enggak bisa. Seperti itu enggak bisa berdiri. Ke dokter belum sama sekali. Ya karena nggak ada dana. Karena suami saya keadaannya begitu penghasilannya," kata wanita yang dipanggil Yanti itu kepada VIVAnews, Sabtu 9 Mei 2020.
Himpitan ekonomi semakin terasa oleh wanita 37 tahun ini sejak ditinggal meninggal sang suami yang berprofesi sopir truk sebulan lalu, semenjak itu ia memutuskan pulang kampung ke Bogor karena Yanti sendiri tak mampu memenuhi kebutuhan anaknya. Yanti sendiri dikaruniai enam anak, dua di antaranya telah meninggal dunia.
"Anak saya ada enam, dua meninggal, tinggal empat sekarang," katanya.
Di kampung orang tuanya, Yanti tinggal di kontrakan petakan di RT04 RW03, Jalan Merpati 4, Kampung Kelapa, Desa Rawa Panjang, Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor Jawa Barat. Dia mengaku menyewa, namun kebingungan untuk membayarnya.
"Iya ngontrakan bayar 700. (Terus uangnya dari mana?). Ya enggak tahu juga saya binggung. Saya belum sebulan," katanya.
Untuk makan sehari-hari keempat anaknya, Yanti dibantu penghasilan sang ibu, Saroneh berusia 65 tahun, yang berprofesi sebagai buruh cuci hingga iba dari para warga yang melihat kondisinya.
"Sehari-hari sama ibu saya, kuli-kuli nyuci buat makan sehari-hari.
Makan juga dari tempat kerjaan ibu, hasil nguli nyuci, setiap pulang kerja bawa makanan. Kadang dapat duit 10 ribu buat beli beras. Buat sehari-hari ibu kerja aja," kata Yanti.
Sebelum tinggal di Bogor, tutur Yanti, ia tinggal bersama suaminya di Pamulang, Tanggerang. Namun setelah sang suami meninggal Yanti memboyong keempat anaknya ke tempat orang tua di kampung halamannya di Bogor. Terlebih dengan kondisi fisiknya itu, Yanti mengaku tidak ada yang mengurus anak-anaknya.
"Suami saya belum 40 hari saya pindah ke sini. Di sini baru sebulan. Suami supir truk meninggalnya di Pamulang. Di Pamulang tempat suami kerja, di sini ada saudara, terpaksa sebelum 40 hari saya sudah pindah, enggak ada yang mengurus anak," tutur Yanti.
Sambil duduk menundukan kepala, Yanti berurai air mata. Dengan suara kecil ia masih berharap datangnya bantuan pemerintah. Musababnya, sejak dikaruniai anak gadis sulung yang kini usianya 15 tahun keluarga Yanti belum pernah menerima uluran bantuan pemerintah, baik dari pemerintah desa, kecamatan, kabupaten, provinsi maupun pemerintah pusat.
"(Ibu sudah dapat bantuan beras dari pemerintah?) Belum pernah. Ini semua sembako dari warga dari warga mana aja. (kabupaten?) belum ada. (provinsi?) belum ada, (dari pusat presiden?) Belum ada.Harapan saya, saya mau dagang, saya enggak ada modal," kata Yanti.
Berusaha membuktikan kondisinya, Yanti bahkan terenyuh sembari mengatakan bahwa anak gadisnya itu sudah putus sekolah sejak duduk di bangku kelas empat sekolah dasar akibat kondisi ekonominya. Selain berharap bisa berdagang, Yanti ingin sekali menyekolahkan anak-anaknya agar masa depan mereka lebih baik. Selain anak gadis yang usia 15 tahun, Yanti memiliki anak usia 7 tahun, 5 tahun, dan bungsu 2 tahun.
"Pengen anak saya biar bisa sekolah semua, buat masa depan. Pertama enggak sekolah, semuannya enggak sekolah, enggak ada uangnya. Yang besar 15 tahun, kedua harusnya sudah masuk sekolah. Ada yang kecil. Saya enggak punya dana biaya sekolah," kata Yanti.
Yuni Ika Safitri, tetangga sekaligus teman sewaktu kecil Yanti, menceritakan awalnya Yanti adalah warga di desa ini namun orang tua Yanti menjual rumah dan pindah ke wilayah Pamulang.
"Di sana Yanti ikut sama suaminya bekerja supir. Setelah suaminya meninggal belum ada 40 hari. Yanti kembali ke sini dengan keadaan kaya begini, tidak bisa berjalan. Kemarin BPJSnya nunggak juga," kata Yuni kepada VIVAnews.
Yuni menuturkan Yanti menjadi berkebutuhan khusus dan tak mampu berjalan akibat tulang punggungnya melengkung sehabis melahirkan anak bungsunya. Saat itu, Yanti bercerita hanya berobat ke tukang pijat, namun hingga kini Yanti tak mampu berdiri.
"Pernah berobat satu kali di dukun pijat katanya saraf kejepit. Tidak pernah berobat ke dokter karena tidak punya uang," tutur Yuni.
Lanjut Yuni, kondisi anak-anaknya pun sangat memprihatinkan, putus sekolah sejak di bangku sekolah dasar dan belum bersekolah. "Ada empat anak yatim Kalau anaknya yang 15 tahun perempuan ngurus ketiga adik-adiknya masih kecil. Dulu dia putus sekolah kelas 4 SD. Terus umur 8 tahun (laki-laki) belum sekolah, terus 5 tahun (perempuan) belum sekolah, sama yang terakhir umur 2 tahun (perempuan) balita masih menyusu," katanya.
Meski kembali ke desa ini, Yuni hanya mengontrak dengan uang sewa Rp700 ribu per bulan. Semenjak tak mampu berjalan, Yanti mengandal ibunya yang menjadi buruh cuci. "Baru mengontrak satu bulan dan binggung juga bayarnya," kata Yuni.
Melihat kondisi Yanti, Yuni pun mengaku hanya bisa membantu semampunya dan mengurus surat kependudukan KTP dan KK Yanti tetangganya itu. "Yanti memang KTP RT 05, warga sini masuk Kabupaten Bogor," kata Yanti.