Tradisi Qunutan dan Lilikuran Banten di Tengah Pandemi Corona
- ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
VIVA – Tanpa terasa puasa Ramadhan sudah berjalan separuh perjalanan. Umat muslim sudah menjalani puasan hingga pertengahan Ramadhan. Seperti umumnya terjadi di beberapa daerah di Indonesia, melaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka menyemarakan bulan suci Ramadhan.
Di Banten, tradisi Qunutan dan Lilikuran mulai dilaksanakan setiap masuk pertengahan atau hari ke-15 Ramadhan. Selanjutnya, diteruskan dengan tradisi Lilikuran hingga akhir bulan Ramadhan. Menurut Sekretaris Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kota Serang, Amas Tajudin, Qunutan bisa dimaknai menurut agama dan tradisi.Â
Jika berdasarkan tuntunan agama, berasal dari Doa Qunut yang dibawa pada raka'at terakhir salat witir yang biasanya dimulai sejak hari ke 15 Ramadhan sampai akhir bulan Ramadhan.Â
Sedangkan ada juga yang mengistilahkan Qunutan berdasarkan tradisi, sebagai sarana dakwah dan memakmurkan masjid ataupun musalah dengan cara ngariung dan berdoa bersama-sama. Biasanya, masyarakat akan membuat ketupat, sayur opor dan makanan lainnya untuk dibawa ke masjid dan berdoa bersama, baik usai salat Maghrib atau usai Salat Tarawih.
"Dari sudut pandang tradisi sekaligus strategi dakwah memakmurkan masjid bagi masyarakat adalah ngariung di masjid, bersodaqoh aneka makanan, atau lazimnya ketupat sayur yang sangat lezat dimakan bersama setelah taraweh hari ke 15," kata Sekretaris MUI Kota Serang, Amas Tajudin, melalui pesan singkatnya, Kamis, 7 Mei 2020.
Baca:Â Masjidil Haram Dipasangi Bilik Disinfektan Canggih, Ini Penampakannya
Usai Qunutan, masyarakat Banten biasanya melaksakan Lilikuran yang dilakukan setiap malam ganjil Ramadhan. Lilikuran pun mirip dengan Qunutan, namun tidak membuat ketupat, hanya kue dan panganan ringan yang dibawa masyarakat ke masjid kemudian berdoa bersama-sama.
Lilikuran akan terus berlanjut hingga akhir Ramadhan dan akan semakin meriah di 10 hari terakhir Ramadhan, dimana malam Lailatul Qodar menjadi penantian bagi setia muslim di seluruh dunia, termasuk di Banten.Â
Usai berdoa bersama, masyarakat yang memakmurkan masjid ataupun musalah akan lebih ramai dengan mengaji hingga tiba waktu Sahur.
"Usai Qunutan, dilanjutkan setiap hitungan tanggal tertentu yang disebut lilikuran. Hal tersebut merupakan strategi dakwah  memakmurkan masjid untuk menggapai lailatul qodar," terangnya.
Namun, di tengah pandemi Covid-19 kali ini, MUI mengimbau agar umat muslim dan pengurus Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM) bisa menggantinya dengan cara lain, namun tidak mengurangi makna dan pahala dari tradisi Qunutan maupun Lilikuran.
Ketupat hingga kue ringan bisa diganti dengan sembako dan dibagikan ke masyarakat yang ekonomi dan kehidupannya terdampak karena pandemi Covid-19. Jika mengurangi berkumpulnya massa, diharapkan bisa memutus mata rantai penularan Covid-19.
"Saat ini situasi sangat berbeda karena wabah Covid-19, maka tradisi ketupat qunutan dan aneka kue lilikuran, bisa diberikan dalam bentuk lain kepada masyarakat, tidak harus di masjid dan atau menunggu pertengahan ramadlan atau malam lilikuran. Bisa sejak sekarang diantar ke rumah-rumah atau bahan mentahan sembako dibagikan sesuai protokol kesehatan," jelasnya.
Â