Belajar dari Rumah Dinilai Tak Efektif, Masyarakat Alami Keterkejutan
VIVAnews - Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati mengkritisi kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkait Program Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau belajar dari rumah yang dianggap kurang efektif. Masyarakat mengalami keterkejutan (shock) dengan perubahan pola pembelajaran.
"Orang tua diharapkan bisa melakukan pendampingan dalam pross PJJ," kata dia dalam diskusi yang digelar Pengurus Pusat Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (PP KB PII) secara online belum lama ini.
Namun kenyataannya, lanjut Rita, tidak semua orang tua siswa memiliki kemampuan mengakses teknologi 4.0, selain itu juga masih ada kekhawatiran orang tua terhadap penggunaan gadget pada anak karena kecanduan game dan pornografi.
“Tapi sekarang malah dipaksa untuk terbiasa menggunakan gadget dalam proses pembelajaran,” ujarnya.
Dia menambahkan hasil survei dari KPAI menjelaskan bahwa ada 76,7 persen siswa mengaku tidak senang dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dan ada 81,8 persen siswa mengaku proses PJJ lebih menekankan pada pemberian tugas, PR, tanpa ada proses dialog dan menjelaskan materi, diskusi atau tanya jawab.
"Liburan panjang karena Covid-19 semula dianggap menyenangkan, tapi karena terlalu lama membuat rasa kebosanan," ujarnya.
Di sisi lain, lanjut dia, guru juga kurang bisa memanfaatkan dan mengoptimalkan proses pengajaran selain juga keterbatasan dalam hal literasi digital.
Sementara itu, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria, mengungkap hikmah di balik wabah Covid-19 mendorong masyarakat untuk menjadi pembelajar yang lincah dengan pola pikir yang terus berkembang (growth mindset) bukan pola pikir yang tetap (fixed mindset).
Mengutip pandangan Alvin Toffler, dia mengatakan bahwa kebodohan abad 21 bukanlah orang yang tidak bisa baca dan tulis, tapi bodoh di abad 21 adalah mereka yang tidak mampu belajar, tidak bisa menjadi pembelajar untuk melakukan proses adaptasi terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.
"Persoalan Covid-19 hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan sains, bukan pendekatan politis," kata dia.
Oleh sebab itu, menurutnya, kebijakan publik terkait penanggulangan Covid-19 harus bisa mengubah paradigma pendekatannya berbasis pada sains, bukan lagi pada pendekatan politis.
Sedangkan, Menko PMK Muhajir Effendi melihat bahwa upaya pemerintah dalam penanganan Covid-19 tidak semata-mata urusan ekonomi dan mengabaikan sektor lainnya. Besarnya alokasi anggaran 200 triliun untuk sektor ekonomi di antaranya untuk menopang sektor UMKM.
Muhajir mengakui bahwa pada krisis 1997-1998, UMKM memang tangguh menghadapi badai krisis, tapi pada wabah pandemi Covid-19, sektor UMKM juga ikutan ambruk. Oleh sebab itu, pemerintah tidak ingin UMKM juga ikutan collapse di tengah badai Covid-19.