Pemerintah Diminta Setop Kartu Prakerja, Banyak Aturan Dilanggar
VIVA – Pengamat Hukum dari Universitas Indonesia, Andri W Kusuma mengatakan, program kartu prakerja sebetulnya merupakan program dan niat yang sangat baik dari pemerintah. Namun, apabila dilihat dari pelaksanaanya dan perspektif hukum sebaiknya dihentikan sementara karena banyak aturan yang dilanggar.
Meskipun pemerintah telah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Namun, saat ini sedang dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terutama mengenai aturan yang membuat pemerintah atau pengambil kebijakan terkait ‘kebal’ secara hukum.
Andri menjelaskan, salah satu potensi yang dilanggar diantaranya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bukan saja uang prakerja yang hilang tapi paket data (uang) pun milik para pencari kerja dan korban PHK pasti terpotong.
"Sementara kita tidak pernah bisa tau berapa data kita yang terpotong. Kita beli paket data 2 GB saja kita tidak pernah tahu apa benar isinya 2 GB, karena tidak bisa atau susah diaudit,” kata Andri di Jakarta, Kamis 30 April 2020.
Dia mengatakan, untuk mengakses video di paket yang disediakan program kartu prakerja, paket data milik masyarakat yang lolos program itu juga berpotensi tersedot. Dalam keadaan sedang susah seperti ini justru mereka berpotensi kehilangan paket datanya atau uang pribadinya.
“Karena mereka tidak punya pilihan, dan parahnya mereka tidak tahu berapa paket datanya yang terpotong. Ini juga melanggar UU perlindungan Konsumen,” katanya.
Tercatat, sebanyak 8 juta orang lebih mendaftar program prakerja sejak gelombang awal dibuka hingga Senin kemarin. Setiap peserta yang lolos akan mendapatkan biaya pelatihan sebesar Rp3,55 juta ketika diumumkan lolos sebagai peserta kartu prakerja. "Namun, peserta hanya bisa menggunakan dana sebesar Rp1 juta terlebih dahulu untuk mengikuti pelatihan," ujarnya.
Menurut Andri, ada celah hukum di kartu prakerja ini, termasuk dugaan unsur tindak pidana korupsi. Hanya saja, saat ini ada Perppu luar biasa itu yang membuat tidak bisa diperiksa secara hukum.
"Karena itu sebagai praktisi hukum, saya tidak pernah setuju ada aturan apalagi UU yang memberikan kekebalan atau impunitas, rawan abuse of power,” tutunya.
Perppu tersebut, kata dia, menegasikan beberapa aturan main yang digariskan secara tegas oleh konstitusi antara lain peran DPR dalam hal legislasi dan pengawasan, kemudian juga menghilangkan peran BPK sebagai satu-satunya lembaga yang diamanatkan oleh UUD sebagai lembaga yang dapat menentukan ada atau tidaknya kerugian negara.
“Kemudian menghilangkan kewenangan lembaga peradilan sebagai lembaga yang secara konstitusi adalah yang dapat menentukan ada atau tidaknya perbuatan atau tindak pidana. Sekali lagi Perppu ini harus dibatalkan atau siap-siap Rp5,6 triliun uang negara yang didapat dari utang yang harus rakyat bayar bisa lenyap,” katanya.
Kementerian Tenaga Kerja Harus Digandeng Aktif untuk Mendata Korban PHK
Dia juga menyarankan, sebaiknya kartu prakerja melibatkan Kementerian Tenaga Kerja, karena memiliki data valid. Paling tidak untuk data tenaga kerja korban PHK.
Kementerian Tenaga Kerja memiliki Dinas-Dinas di Kabupaten Kota, sehingga harusnya tidak perlu sebuah content provider yang tidak jelas pengalaman dan legitimasinya, kemudian ditunjuk sebagai pihak yang bermain di tengah.
Belum lagi content provider tersebut sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi atau ijazah dan lain-lain.
"Saya tidak masalah jika ada perusahaan (content provider) yang memperoleh untung dalam kegiatan bisnisnya. Yang jadi masalah, untung besar itu didapat dari uang negara dalam kondisi yang sangat susah saat ini, yang tidak bisa ditolerir,“ katanya.