Logo ABC

Kenangan Manis Arief Budiman di Mata Cendekiawan dan Sahabat

Berita meninggalnya Arief Budiman, Kamis kemarin (23/4) di Ungaran, Jawa Tengah, memukul batin bagi banyak orang. Idola banyak pihak, khususnya generasi 1990-an di Indonesia.

Tapi ada sebuah tulisan Arief yang perlu diingat. Katanya, "hadirnya penjahat mau pun pahlawan ditentukan oleh kebutuhan masyarakat".

Bukan kualitas orang yang bersangkutan. Karena semua orang ada baik dan kekurangannya.

Ia memberi contoh Arief Rahman Hakim yang mati tertembak dalam demonstrasi mahasiswa (Angkatan 66) anti-pemerintahan Sukarno.

Kata Arief, waktu itu dibutuhkan pahlawan. Ketika Arief Rahman Hakim tertembak mati, ia diangkat jadi pahlawan.

Padahal para demonstran tidak ada yang kenal dia. Setengah bercanda, Arief menambahkan: mungkin ia tertembak karena terlambat tiarap. Atau ada peluru kesasar.

Dengan wawasan itu, saya mencoba mengenang Arief.

Kawan Dekat yang banyak berbagi

Setelah sembilan tahun merantau di Eropa dan Amerika Serikat, Arief kembali ke Indonesia tahun 1980.

Ia menjadi dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), ketika universitas di Salatiga itu sedang mendaki prestasinya.

Saya sendiri baru lulus di UKSW dan diangkat jadi dosen muda di sana. Saya termasuk yang paling awal menyambut kedatangannya di Salatiga.

Arief di Salatiga tahun 1980
Ariel Heryanto dan Sujanti Marsudi menyambut Arief Budiman dan Leila Chairani di Salatiga di tahun 1980. (Koleksi pribadi)

Sejak itu kami berkawan sangat akrab, hingga kami meninggalkan Indonesia.

Saya bekerja di National University of Singapore (1996). Arief di Universitas Melbourne (1997).

Tahun 2000 saya bergabung kerja dengan Arief di Universitas Melbourne hingga tahun 2009, ketika saya berpindah kerja ke Australian National University. Sedangkan Arief sudah pensiun tahun 2006.

Lebih dari seperempat abad itu kami bukan hanya bekerja sama dari dekat.

Selain rekan-sejawat, ia kawan dekat dan mentor saya. Sebagai kawan akrab, kami saling berbagi hal-hal yang sangat pribadi.