Budaya Patriarki dan Beban Ganda Bayangi Pemimpin Perempuan
Kurniawati Hastuti Dewi, peneliti senior dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berpendapat serupa.
Menurutnya, ongkos politik yang mahal membuat kesempatan untuk maju dalam pemilihan dan menang amat bergantung pada akses pada modal sosial dan finansial, yang masih dikuasai oleh elit politik dan ekonomi.
Hal itu membuat kebanyakan perempuan yang berhasil dalam kontestasi elektoral adalah mereka yang memiliki "ikatan kekerabatan" dengan lingkaran elit tersebut.
Kurniawati juga menyoroti aspek budaya dan agama dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.
"Dokumen-dokumen Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menunjukkan bahwa mereka sudah menerima argumen tentang perempuan sebagai pemimpin - ini pandangan Islam mainstream. Konteks di atas kertas, tidak ada masalah. Tapi kalangan masyarakat umum baik Muslim maupun [yang lain] belum sepenuhnya menerima," katanya.
"Seperti ada gap perspektif religius formal dengan perilaku politik di kalangan pemilih. Poin berikutnya, ada kontestasi wacana antara Islam konservatif dan moderat."
Kurniawati juga menyoroti pola rekrutmen partai politik yang belum sepenuhnya sadar gender.
"Ketika pemilu, orang tidak peduli. Dalam pencalonan kepala daerah [misalnya], parpol tidak punya kebijakan afirmasi. Mereka hanya peduli apakah [bakal calon] punya modal individu, popularitas [..] hampir sama dengan presiden," katanya.
`Dorong keterwakilan substantif`
Tren keterwakilan perempuan di kabinet menunjukkan ekspansi yang signifikan. Secara statistik, jumlah perempuan di kabinet meningkat.