Sudah Puluhan Tersangka Langgar Social Distancing,'Penjara Bisa Penuh'
Sebanyak 36 orang, yaitu pengunjung serta pemilik kafe dan pusat kebugaran di Jakarta ditetapkan menjadi tersangka karena dituduh melanggar imbauan `social distancing` atau jaga jarak sosial selama pandemi Covid-19.
Kepolisian mengklaim proses hukum itu bisa berjalan sesuai UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Wilayah dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Namun proses pemidanaan itu dianggap `berlebihan`, terutama karena belum ada satu daerah pun yang menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Akibatnya, masyarakat pun jadi `serba salah` dalam melakukan aktivitas di luar rumah.
Sejak akhir pekan lalu, orang-orang yang dituduh tidak menjalankan tiga tahap imbauan kepolisian dibawa ke sejumlah kantor polisi di Jakarta.
Mereka ditetapkan menjadi tersangka, namun tidak ditahan karena ancaman pidana penjara di bawah lima tahun.
Oleh karena strategi humanis dan persuasif kepolisian diabaikan, klaim Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Yusri Yunus, polisi mengambil langkah pemidanaan atau represif.
"Kalau Anda nongkrong, kami imbau secara baik-baik, lalu Anda pergi, tentu tidak akan kami tindak," kata Yusri via telepon, Senin (06/04).
"Tapi yang terjadi kemarin, sudah kami imbau lewat pengeras suara agar pulang, mereka cuek dan tetap makan. Tiga kali tidak bisa diberitahu, ya kami amankan."
"Asas keselamatan masyarakat kami gunakan. Itu upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19," ujarnya.
Menurut Yusri, terdapat empat pasal pidana yang bisa digunakan kepolisian terhadap orang-orang yang mereka anggap mengabaikan anjuran pemerintah mengenai penjarakan sosial.
Salah satu ketentuan yang disebut Yusri adalah Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan.
Ketentuan itu memuat ancaman penjara maksimal satu tahun kepada `setiap orang yang tidak mematuhi atau menghalangi kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat`.
Tiga pasal lain yang bisa menjerat para pelanggar PSBB, menurut Yusri, adalah pasal 212, 216, dan 218 KUHP.
Aturan itu terkait orang yang melawan dan tidak menuruti pejabat negara yang menjalankan tugas, serta yang berkerumun dan tak segera pergi setelah diperintah pejabat berwenang.
"Ada tindakan represif dan ada unsur dalam pasalnya. Itu tindakan terakhir, kalau ada warga yang tidak bisa diimbau lagi, kami lakukan tindakan hukum," kata Yusri.
Tidak hanya di Jakarta, tindakan kepolisian yang sama juga dilakukan di berbagai wilayah Indonesia sejak pekan lalu.
Menurut data yang dipaparkan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen Argo Yuwono, hingga 5 April lalu kepolisian sudah 10.873 kali membubarkan kerumunan orang terkait Covid-19.
Di Jawa Timur hingga akhir pekan lalu, kata Argo, terdapat lebih dari 3.000 orang yang dipaksa membuat pernyataan tertulis untuk tidak lagi melanggar imbauan penjarakan sosial.
`Penjara bisa penuh`
Namun pengacara publik di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur, menilai kepolisian semestinya tidak melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat di kala pandemi penyakit seperti ini.
Selain harus mengedepankan nilai kemanusiaan, menurut Isnur, terdapat ketidakjelasan hukum tentang karantina wilayah dan PSBB.
"Tujuan penjarakan sosial itu membantu masyarakat agar sehat. Bayangkan kalau satu juta orang tidak menuruti imbauan itu, maka satu juta orang akan dipenjara dan penjara akan penuh," kata Isnur saat dihubungi.
"Pemerintah pusat seharusnya lebih jelas dan tegas, mau menerapkan apa. PSBB tidak semaksimal karantina wilayah. Ini di tingkat bawah membuat regulasi untuk menangkap orang, padahal peraturan di atasnya tidak jelas," ujar Isnur.
Peraturan Pemerintah 21/2020 mendefinisikan PSBB sebagai pembatasan kegiatan tertentu dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Covid-19.
UU 6/2018 menyatakan PSBB sebagai satu dari empat metode karantina kesehatan.
Dalam pelaksanaan PSBB, menurut Peraturan Menteri Kesehatan 9/2020, pembatasan meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja, kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat umum, hingga moda transportasi.
Pemerintah daerah yang ingin melaksanakan PSBB harus mendapat persetujuan presiden, melalui menteri kesehatan.
Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada satu wilayah yang mendapat asese untuk menjalankan metode itu.
"Menteri harus menetapkan PSBB sebagai upaya kekarantinaan kesehatan terlebih dulu sebelum bisa memberlakukan pemidanaan pasal 93 UU 6/2018," kata Isnur.
"Polisi tidak bisa melakukan penangkapan ataupun menakuti-nakuti dengan ancaman pidana yang tidak berdasar," tuturnya.
Lebih dari itu, Isnur juga tak sepakat pada penerapan pasal 218 KUHP pada terduga pelanggar penjarakan sosial selama PSBB.
Pasal itu, menurut dia, hanya dapat digunakan terhadap kerumunan orang yang mengacau.
Setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan PP mengenai PSBB dan Keppres tentang penetapan kedaruratan kesehatan Covid-19, Kapolri Jenderal Idham Aziz telah menerbitkan lima telegram internal kepada bawahannya.
Melalui telegram itu, penyidik Polri tak hanya diminta menindak pelanggar imbauan penjarakan sosial, tapi juga kejahatan di ruang siber, termasuk penghinaan terhadap presiden.
Selain itu Idham meminta bawahannya mengawasi potensi pelanggaran pidana pada penanganan TKI yang kembali ke Indonesia dan penimbunan bahan pokok selama pandemi Covid-19.