Cerita Pilu Pemakaman Jenazah Corona: Tak Ada Pelayat, Ditolak Warga
Virus corona merampas kesempatan mereka yang kehilangan orang terdekatnya untuk mengucapkan perpisahan. Stigmatisasi terhadap jenazah pasien Covid-19, menambah duka bagi mereka yang ditinggalkan.
Rasa pilu tak terbendung ketika Eva Rahmi Salama bersama dengan suami dan adiknya mengantar jenazah sang ibu ke liang lahat di TPU Pondok Rangon, Jakarta pada Kamis (19/03) pagi.
Hanya mereka bertiga yang melepas kepergian sang ibu yang dinyatakan positif Covid-19, tanpa pelayat, tanpa pemakaman yang layak.
"Rasanya sangat sedih, di saat kita butuh support dari keluarga, teman atau orang terdekat kita untuk bisa menghadiri pemakaman mama, tapi mereka tidak ada dan situasinya tidak memungkinkan," tutur Eva kepada BBC News Indonesia, Rabu (01/04).
"Jadinya kami pendam sendiri kesedihan ini demi bisa mengantarkan mama ke peristirahatan terakhir," lanjutnya.
Dua hari kemudian, ayahnya yang juga terpapar virus corona menyusul sang ibu.
Sayangnya, Eva tak lagi bisa menyertai kepergian ayahnya karena jenazah sang ayah sudah terlalu lama disimpan, melebihi standar maksimal empat jam penyimpanan jenazah pasien Covid-19.
"Keluarga papa melarang saya untuk hadir ke pemakaman karena takut potensinya terlalu tinggi banget untuk terpapar. Jadi mereka melarang dan tidak ada keluarga satu pun yang datang untuk hadir di pemakaman papa," ujarnya.
"Tidak bisa hadir di pemakaman papa sendiri, itu sudah cukup menyedihkan. Kemarin pada saat mama, terus pada saat papa nggak bisa sama sekali," imbuh Eva.
Eva menjelaskan, kedua orang tuanya merupakan pasien Covid-19 dari sub-kluster klub dansa Kemang.
Awal mulanya, adiknya dinyatakan positif Covid-19 setelah setelah mendatangi klub dansa di Kemang, Jakarta Selatan, titik awal di mana kasus Covid-19 pertama terkonfirmasi di Indonesia.
Lantas, sang mama menderita sakit dengan diagnosa typhus dan dirawat di RS Royal Taruma, Grogol, Jakarta Barat.
Namun ketika dites, mamanya dinyatakan positif Covid-19 dan diisolasi di RS Persahabatan sejak 14 Maret silam. Lima hari kemudian, sang ibu wafat.
Ayahnya yang sebelumnya dirawat karena sakit jantung terpapar virus corona dan menyusul sang istri dua hari kemudian.
"Pada saat pemakaman papa itu tidak ada yang hadir karena papa meninggal pukul 15.30 tapi baru dimakamkan keesokan harinya, pada pukul 7 pagi," jelas Eva.
Penolakan warga
Pemakaman dalam sunyi dialami oleh hampir seluruh pasien Covid-19 yang meninggal dunia.
Mereka dimakamkan tanpa pelayat dan proses pemakaman normal. Seringkali, tanpa dihadiri keluarga.
Tak jarang pula pemakaman mereka menghadapi penolakan dari warga sekitar area pemakaman, seperti yang terjadi di TPU Bedahan, Sawangan, Depok, Jawa Barat, awal pekan ini.
Proses pemakaman jenasah pasien Covid-19 terpaksa dihentikan ketika puluhan warga Bedahan mendatangi pemakaman.
Mereka menolak pemakaman itu dijadikan pemakaman khusus jenazah pasien Covid-19, seperti yang direncanakan Pemerintah Kota Depok.
Apalagi, mereka mengaku tidak ada sosialisasi menyangkut hal tersebut. Salah satu warga, Nasam Haka mengatakan alasan penolakan itu karena warga khawatir terpapar virus corona.
"Takut, khawatir, kan katanya nular. Kagak ada [sosialisasi] sama sekali ke lingkungan," ujarnya.
Dia mengaku, sudah ada empat jenazah pasien Covid-19 yang dimakamkan di TPU Bedahan.
Sementara, Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Depok, Sidik Mulyono, mengakui bahwa pemerintah kota kurang sosialisasi. Tetapi, dia menjelaskan kekhawatiran warga muncul akibat minimnya pemahaman warga tentang penularan virus itu.
Merujuk pada protokol pemakaman jenazah pasien Covid-19 yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama, pemakaman harus berjarak 500 meter dari pemukiman dan berjarak 50 meter dari sumber air.
Menurut Sidik, prasyarat ini justru menimbulkan keresahan di warga karena mereka mengintepretasikan bahwa ada potensi penularan virus dari jenazah. "Ini yang akhirnya membuat warga di sekitar bedahan sangat resah sekali."
"Warga setelah dijelaskan bahwasanya pemulasaraan jenazah sudah sedemikian ketatnya sesuai standar Kemenkes dan WHO sehingga jenazah ini ketika sudah dikuburkan tidak menularkan virus," papar Sidik.
Penolakan warga juga terjadi ketika jasad pasien Covid-19 di Banyumas, Jawa Tengah hendak dimakamkan. Mereka khawatir jika virus corona masih bisa menular ketika jenazah sudah dimakamkan.
Warga menghadang ambulans dan menolak jenazah tersebut dimakamkan di area pemakaman itu dan menuntut makam dipindahkan.
Bupati Banyumas bahkan turun tangan untuk menggali makam yang berada di perbatasan Desa Karang Tengah, Kecamatan Cilongok dengan Desa Tumiyang itu.
Bupati Banyumas Achmad Husein mengatakan penolakan terjadi karena masyarakat belum memahami bahwa virus corona yang menginfeksi pasien meninggal juga ikut mati.
Stop stigmatisasi?
Menanggapi maraknya penolakan warga terhadap jenasah pasien Covid-19, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengimbau warganya untuk stop stigmatisasi pada pasien Covid-19 dan keluarganya, termasuk mereka yang meninggal karena virus corona.
"Masyarakat yang sudah terstigmatisasi di mana-mana pasti akan ditolak di mana-mana. Kasihan dia, dia butuh dukungan. Bukan musuh kita kok," papar Ganjar.
"Sakitnya seperti apa sih keluarganya, melihat mukanya aja nggak boleh, ngeliat mayatnya nggak boleh. Orang tercintanya meninggal dan kemudian melayat nggak boleh. Itu sudah sakit, tolong jangan ditambah lagi perasaan sakitnya mereka," imbuhnya kemudian.
Rita Damayanti, pakar kesehatan masyarakat dari UI, menambahkan solusi untuk mengatasi stigmatisasi ini adalah mengubah pola pikir masyarakat menjadi "setiap orang, pada prinsipnya, berpotensi tertpapar virus corona."
Dengan begitu, setiap orang bertanggungjawab untuk tidak menularkan virus tersebut.
"Kalau setiap orang berprinsip seperti itu, nggak muncul yang namanya situasi seperti sekarang. Orang ketakukan kena [virus corona], padahal perntanyaannya dia sudah kena atau belum? Dia juga nggak tahu," ujar Rita.
Minim informasi
Akan tetapi, banyak dari pihak keluarga mengaku tidak cukup informasi terkait pemrosesan pemakaman anggota keluarganya yang meninggal akibat virus corona.
Eva Rahmi Sulama yang ibunya meninggal akibat virus mematikan ini menjelaskan, pihak rumah sakit memberi tahu bahwa jenazah ibunya sudah dimandikan, dikafankan dan dimasukkan ke peti jenazah yang dibungkus dengan plastik.
"Mereka tidak bisa menyolatkan karena memang sebenarnya SOP-nya tidak boleh disalatkan, langsung dikuburkan karena takutnya potensi terpaparnya cukup besar," jelas Eva.
Di pemakaman, lanjut Eva, tidak ada petugas berseragam APD yang mengurus pemakaman ibunya. Hanya ada petugas pemakaman yang bertugas menggali kubur. Mereka menjalankan tugas dengan perlengkapan seadanya, hanya masker dan sarung tangan.
"Saya awalnya kalau emang proses pemakaman harus dengan petugas yang menggunakan APD karena yang mengeluarkan peti itu adalah petugas pemakaman, mereka juga dengan baju seadanya."
"Saya pikir tidak terlalu bahaya untuk saya agar lebih mendekat. Saya baru tahu informasinya belakangan setelah pemakaman, harusnya ada petugas dari Dinkes yang menggunakan APD untuk pemakaman suspect Covid-19," jelas Eva.
Lantas, bagaimana protokol pemulasaraan jenasah pasien Covid-19?
National Environment Agency (NEA) Singapura menjelaskan bahwa ada kemungkinan cairan tubuh dari jenazah pasien Covid-19 bisa menularkan penyakit.
Oleh karena itu pada beberapa kasus jenazah sama sekali tidak dianjurkan untuk dimandikan atau diawetkan.
Maka dari itu, petugas kesehatan harus menjalankan kewaspadaan standar ketika menangani pasien yang meninggal karena wabah virus corona.
Mereka juga diwajibkan untuk menggunakan APD lengkap jika pasien tersebut meninggal dalam masa penularan.
Selain itu, jenazah harus terbungkus seluruhnya dalam kantong jenazah yang tidak mudah tembus sebelum dipindahkan ke kamar jenazah, sehingga tidak ada kebocoran cairan tubuh yang mencemari bagian luar kantong jenazah.
Jasad pasien yang meninggal dunia juga harus sesegara mungkin dipindahkan ke kamar jenazah.
Jika keluarga pasien ingin melihat jenazah, diizinkan untuk melakukannya sebelum jenazah dimasukkan ke dalam kantong jenazah dengan menggunakan APD.
Petugas pun harus memberi penjelasan kepada pihak keluarga tentang penanganan khusus bagi jenazah yang meninggal dengan penyakit menular.
Sensitivitas agama, adat istiadat dan budaya harus diperhatikan ketika seorang pasien dengan penyakit menular meninggal dunia.Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik pengawet, sementara jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi.Selain itu, jenazah hendaknya diantar oleh mobil jenazah khusus dan sebaiknya tidak lebih dari empat jam disemayamkan.
Merujuk pada panduan Kementerian Agama, lokasi penguburan harus berjarak 50 meter dari sumber air tanah yang digunakan untuk air minum dan berjarak sekitar 500 meter dari pemukiman warga.
Pada saat proses pemakaman, seluruh petugas penggali kuburan dilindungi dengan alat pelindung diri (APD) untuk menghindari terinfeksi virus corona.
Kemudian, jenasah harus dikubur sedalam 1,5 meter lalu ditutup tanah setinggi 1 meter.
Setelah semua prosedur jenazah dilaksanakan, baru kemudian pihak keluarga dapat turut dalam proses penguburan jenazah.
Selain dengan penguburan, menurut Kementerian Agama, pengurusan jenazah penyakit menular bisa dilakukan melalui kremasi.