Cerita Pilu Pemakaman Jenazah Corona: Tak Ada Pelayat, Ditolak Warga
Menanggapi maraknya penolakan warga terhadap jenasah pasien Covid-19, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengimbau warganya untuk stop stigmatisasi pada pasien Covid-19 dan keluarganya, termasuk mereka yang meninggal karena virus corona.
"Masyarakat yang sudah terstigmatisasi di mana-mana pasti akan ditolak di mana-mana. Kasihan dia, dia butuh dukungan. Bukan musuh kita kok," papar Ganjar.
"Sakitnya seperti apa sih keluarganya, melihat mukanya aja nggak boleh, ngeliat mayatnya nggak boleh. Orang tercintanya meninggal dan kemudian melayat nggak boleh. Itu sudah sakit, tolong jangan ditambah lagi perasaan sakitnya mereka," imbuhnya kemudian.
Rita Damayanti, pakar kesehatan masyarakat dari UI, menambahkan solusi untuk mengatasi stigmatisasi ini adalah mengubah pola pikir masyarakat menjadi "setiap orang, pada prinsipnya, berpotensi tertpapar virus corona."
Dengan begitu, setiap orang bertanggungjawab untuk tidak menularkan virus tersebut.
"Kalau setiap orang berprinsip seperti itu, nggak muncul yang namanya situasi seperti sekarang. Orang ketakukan kena [virus corona], padahal perntanyaannya dia sudah kena atau belum? Dia juga nggak tahu," ujar Rita.
Minim informasi
Akan tetapi, banyak dari pihak keluarga mengaku tidak cukup informasi terkait pemrosesan pemakaman anggota keluarganya yang meninggal akibat virus corona.
Eva Rahmi Sulama yang ibunya meninggal akibat virus mematikan ini menjelaskan, pihak rumah sakit memberi tahu bahwa jenazah ibunya sudah dimandikan, dikafankan dan dimasukkan ke peti jenazah yang dibungkus dengan plastik.
"Mereka tidak bisa menyolatkan karena memang sebenarnya SOP-nya tidak boleh disalatkan, langsung dikuburkan karena takutnya potensi terpaparnya cukup besar," jelas Eva.
Di pemakaman, lanjut Eva, tidak ada petugas berseragam APD yang mengurus pemakaman ibunya. Hanya ada petugas pemakaman yang bertugas menggali kubur. Mereka menjalankan tugas dengan perlengkapan seadanya, hanya masker dan sarung tangan.