Pembatasan Sosial Skala Besar, yang Boleh dan Tidak Boleh
Presiden Joko Widodo menyatakan Covid-19 sebagai penyakit berisiko yang dapat menimbulkan kedaruratan dan kesehatan masyarakat.
"Dan oleh karenanya, pemerintah menetapkan status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat," kata Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Selasa (31/03).
Presiden Jokowi kembali memastikan, pemerintah tetap berpegang kepada status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), bukan karantina wilayah atau lockdown.
"Bahwa opsi yang kita pilih adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB," katanya.
Untuk mengatur secara teknis status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan PSBB ini presiden telah meneken Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden.
Apa beda Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Pembatasan Sosial Berskala Besar?
Berdasarkan Undang Undang No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, PSBB merupakan respons dari status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Seperti tertuang dalam Pasal 1 ayat 2:
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Sementara, Pasal 1 ayat 11 menjelaskan:
Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Selanjutnya dalam Pasal 59 ayat 1 dijelaskan:
PSBB baru bisa dilaksanakan setelah ada status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Bunyi pasal tersebut secara eksplisit adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan bagian dari respons Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
Apa dampak status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat?
Masih berdasarkan regulasi yang sama, Undang Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan, status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat ditetapkan dan dicabut oleh pemerintah pusat.
Sebelum menetapkan status ini, pemerintah pusat terlebih dahulu harus menetapkan jenis penyakit dan faktor risiko yang dapat menimbulkan kedaruratan.
Hal ini disampaikan Presiden Jokowi dalam keterangan persnya di Istana Bogor, Selasa (31/03), sehari setelah Presiden memutuskan dalam rapat kabinet untuk memberlakukan PSBB.
"Menyatakan Covid-19 sebagai penyakit berisiko yang dapat menimbulkan kedaruratan dan kesehatan masyarakat," kata Jokowi.
Dalam situasi kedaruratan kesehatan masyarakat, pemerintahan Jokowi dapat menetapkan dan mencabut penetapan pintu masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang terjangkit kedaruratan kesehatan masyarakat (Pasal 10 ayat 2).
Pintu masuk yang dimaksud adalah tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas darat negara.
Ketentuan tentang penetapan pintu masuk ini diatur melalui Peraturan Pemerintah.
Selain itu, pemerintah pusat dapat menetapkan karantina wilayah di pintu masuk yang tata cara pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Pemerintah (Pasal 14 ayat 1 dan 2).
Social Distancing, Physical Distancing, dan PSBB
Sebelum mengumumkan pemberlakuan pembatasan sosial skala besar Presiden Jokowi telah mengimbau kepada masyarakat untuk belajar, bekerja dan beribadah dari rumah dalam upaya pembatasan sosial (social distancing) guna menghentikan penyebaran Covid-19.
Hal ini menyusul penetapan status Covid-19 sebagai bencana nonalam oleh Ketua Satgas Pelaksana Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo.
"Karena virus ini sudah dikategorikan pandemi global, statusnya bencana nonalam," kata Doni, Sabtu (14/03).
Istilah social distancing kemudian diubah menjadi physical distancing, alasannya karena `kurang bagus`.
"Social distancing itu nampaknya kurang bagus istilahnya, lalu ada istilah physical distancing yang lebih dianjurkan lagi, untuk menggunakan istilah jarak fisik," kata Menko Polhukam Mahfud MD saat teleconference dengan wartawan di Jakarta, Senin (23/03).
Dan kini, pemerintah memutuskan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), istilah dan pemaknaan yang mengacu pada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan.
Dalam UU ini dijelaskan PSBB bertujuan mencegah meluasnya penyebaran penyakit Covid-19 antarorang yang telah ditetapkan berisiko dan menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (Pasal 59 ayat 2).
Kegiatan masyarakat apa saja yang dibatasi PSBB?
Berdasarkan Pasal 59 ayat 3, hal-hal yang meliputi PSBB antara lain peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Dalam membatasi kegiatan di tempat umum, Kepala Kepolisian Indonesia, Idham Azis, telah mengeluarkan maklumat.
Dalam maklumat tersebut, kegiatan berkumpul dapat dibubarkan, dan dapat dikenakan sanksi pidana.
"Kami akan melakukan pembubaran, jika perlu dengan sangat tegas," kata Juru bicara Mabes Polri, M. Iqbal, dalam keterangan kepada pers di kantornya, Senin (23/03).
Kepolisian, kata M. Iqbal akan menggunakan sejumlah pasal dari KUHP dengan ancaman pidana mulai dari 4,5 bulan hingga 7 tahun penjara jika terjadi perlawanan dari orang yang dibubarkan.
"Bahkan, resepsi pernikahan pun kami bubarkan. Tapi tentunya mengedepankan upaya persuasif humanis," kata M. Iqbal.
Apa yang perlu diatur Kepres Darurat Kesehatan Masyarakat?
Presiden Jokowi mengumumkan meneken PP PSBB Covid-19, namun tidak langsung dirilis ke publik.
Hal ini menimbulkan pertanyaan dan harapan dari anggota Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, Wahyudi Djafar.
Sebelumnya koalisi ini mengkritik langkah pemerintah pusat dalam menangani pandemi Covid-19 dan mendesak adanya Keputusan Presiden dan Peraturan Pemerintah tentang virus corona.
"Setidaknya itu langkah yang harus diambil pemerintah dengan mengacu pada UU Kekarantinaan Kesehatan," kata Wahyudi melalui sambungan telepon, Selasa (31/03).
Wahyudi meminta Kepres Jokowi lebih rinci mengatur struktur komando pengendalian Covid-19.
Sebab sejauh ini, katanya, pemerintah daerah berjalan sendiri-sendiri dengan menetapkan jam malam sampai penutupan bandara sebagai langkah pengendalian Covid-19.
"Tidak kemudian berbeda-beda, satu (daerah) menginginkan karantina, satu tidak. Itu kan akhirnya justru malah memperlihatkan ketidakefektifan di dalam penanganan Covid-19," kata Wahyudi.
Apakah jam malam termasuk Darurat Kesehatan Masyarakat?
Dalam upaya pengendalian Covid-19, sejumlah daerah mengambil inisiatif masing-masing di antaranya menetapkan aturan jam malam.
Melalui aturan ini, aktivitas warga dikendalikan oleh pemerintah daerah, termasuk tak boleh keluar malam.
Daerah-daerah yang menetapkan jam malam antara lain adalah Pemkab Sikka, Pemkot Pekalongan, Pemprov Aceh, dan Pemkot Mataram.
Menurut Wahyudi, penetapan jam malam ini baru bisa dilakukan dalam situasi darurat sipil di mana terdapat ancaman terhadap keamanan.
"Tapi dalam konteks ini (Covid-19) tidak. Jadi itu juga tidak konstitusional ketika kebijakan jam malam itu diterapkan," katanya.
Wahyudi berharap dengan dikeluarkannya Kepres tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, kebijakan jam malam ini dihapuskan.
Darurat Sipil tetap bisa diterapkan?
Presiden Jokowi mengatakan status darurat sipil memungkinkan diterapkan "jika terjadi keadaan yang abnormal".
Pemerintah, kata dia, menyiapkan skenario dari yang ringan hingga berat seperti darurat sipil.
"Perangkat itu harus disiapkan dan disampaikan. Tapi kalau keadaannya seperti sekarang ini, tentu saja tidak," katanya.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Nabila menilai status darurat sipil tak pantas diterapkan dalam kondisi karantina.
Sebab, karantina mengacu pada Undang Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Undang Undang tentang Penanggulangan Bencana.
"Kalau darurat sipil itu ada lagi. Dan itu implikasinya bisa gawat kalau kita lihat Presiden bilangnya ke arah darurat sipil," katanya kepada BBC News Indonesia.
Gawat yang dimaksud Nabila adalah pemerintah yang menetapkan darurat sipil berkuasa penuh atas izin orang berkumpul, termasuk rapat umum.
"Kalau lihat dari konteksnya ini, Covid-19, sebenarnya pembatasan sosial saja, karantina wilayah itu sudah cukup," katanya.
Nabila khawatir skenario darurat sipil yang tetap dipertahankan ini merupakan "bentuk ketidakberdayaan pemerintah dalam memenuhi tanggung jawabnya selama masa darurat kesehatan masyarakat".
Sebab, berdasarkan UU Kekarantinaan Kesehatan, selama masa karantina, kebutuhan masyarakat sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah.
"Takutnya karena berat untuk di situ. Untuk mengambil implementasi itu, jadi kebijakan penanganan Covid ini kesannya gamang, pemerintah belum bisa menerapkan secara riil… sekarang arahnya jadi ngawur menurut kami, kalau pakai UU Keadaan Bahaya," katanya.