Pemerintah Indonesia Diminta 'Terbuka dan Tegas' Tangani Virus Corona
Mengawali awal pekan ini, angka pasien COVID-19 di Indonesia sudah mencapai 1.285 orang, 114 di antaranya meninggal dunia, dan 64 orang dinyatakan sembuh.
Hampir satu bulan Pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk menanganinya, tapi sudah tepatkah caranya?
ABC Indonesia mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Yanuar Nugroho, seorang akademisi Indonesia yang pernah menjabat sebagai Deputi II Kantor Staf Presiden di masa Presiden Joko Widodo.
Sebelumnya, ia juga pernah menjadi Asisten Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Yanuar kini aktif sebagai Honorary Fellow University of Manchester, Advisor untuk Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) dan Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).
Berikut wawancaranya dengan Hellena Souisa.
Bagaimana Anda melihat wabah Covid-19 ini di Indonesia secara umum dari sisi kebijakan Pemerintah Indonesia?
Ini kejadian luar biasa. Maka penanganannya juga harus luar biasa. Seperti saya tulis di Kompas (18/3/20), pemerintah gagap menghadapi ini.
Ketika negara-negara lain sudah "full alert" menangani wabah covid-19 ini, pemerintah kita sempat terlihat tidak serius.
Ketidakseriusan ini dalam seketika menjelma menjadi ketidaksiapan ketika situasinya tereskalasi demikian cepat.
Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengumumkan pasien pertama Covid-19, 2 Maret 2020.
Supplied: KOMPAS/ Ihsanuddin
Melihat kebijakan dan langkah yang sudah diambil dan dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, apa penilaian Anda?
Saat Presiden mengumumkan dua kasus pertama pada 2 Maret 2020, bagi publik pengumuman Presiden itu seolah menegaskan keraguan terhadap ketidakpercayaan pada jajaran pemerintah sendiri yang sebelumnya, yang selalu menyangkal kasus itu di Indonesia.
Padahal, pemerintah semua negara tetangga justru mengakui adanya kasus tersebut di negaranya.
Keraguan ini diperparah dengan penanganan kasus di lapangan yang dipandang tidak memadai: mulai dari lemahnya perlindungan data pribadi korban, buruknya komunikasi publik, hingga minimnya kesiapan teknis dan medis mulai dari alat test, APD, hingga kapasitas rumah sakit dan mekanisme pendataan kontak (contact tracing).
Singkatnya, kapasitas pemerintah dalam menangani krisis ini sungguh dipertanyakan.
Tapi bukankah semua negara juga tidak siap menghadapi pandemi ini?
To be fair, memang semua negara overwhelmed. Sistem kesehatan mereka kolaps menghadapi wabah ini.
Yang membedakan adalah magnitude atau derajat tindakan pemerintah.
Dalam ketidaksiapan yang derajatnya berbeda-beda itu, national leadership harus tetap terlihat dengan jelas.
Di berbagai negara, yang saya tahu, kejadian luar biasa ini ditangani secara luar biasa dipimpin langsung oleh pimpinan negara, presiden atau perdana menteri.
Saya juga ingin melihat Presiden Joko Widodo mengambil peran dalam national leadership ini.
Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo (tengah) didampingi pejabat terkait memberikan keterangan kepada media berita terkini mengenai kasus COVID-19 di Kantor Pusat BNPB, Jakarta, Sabtu (14/3/2020).
Supplied: ANTARA/Muhammad Adimaja
Bagaimana dengan pembentukan Gugus Tugas Covid-19 oleh Pemerintah Indonesia?