KPK Diminta Terbuka soal Seleksi Deputi Penindakan

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih melakukan serangkaian proses seleksi enam jabatan struktural, salah satunya yakni Deputi Penindakan. Proses itu sudah dilakukan sejak awal Maret 2020.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut proses seleksi ini terkesan berjalan diam-diam karena hampir tidak ada informasi yang cukup detail dan transparan yang disampaikan pada publik. Baik itu tahapan seleksi hingga nama-nama calon pejabat struktural KPK yang telah mendaftar.

"Publik hanya tahu bahwa dari peserta yang mendaftar sebagai calon Deputi Penindakan KPK, tujuh di antaranya berasal dari kepolisian dan empat berasal dari kejaksaan," kata Peneliti ICW Wana Alamsyah kepada awak media, Senin, 30 Maret 2020.

ICW pun mendesak KPK membuka informasi mengenai proses tahapan dan nama-nama calon yang ikut seleksi Deputi Penindakan. Seharusnya KPK sebagai lembaga yang menjadi pionir dalam menerapkan prinsip transparansi dan tata kelola badan publik yang akuntabel menjelaskan secara gamblang proses seleksi pejabat publik di KPK.

Menurut ICW, pimpinan KPK periode ini gagal memberikan contoh ke badan publik lainnya dalam upaya memberikan akses informasi publik. Padahal salah satu strategi mencegah kecurangan terjadi adalah dengan membuka informasi kepada masyarakat sebagai upaya check and balances.

"Penting dicatat bahwa dalam menjalankan tugas dan kewenangan, KPK berasaskan pada keterbukaan dan akuntabilitas (Pasal 5 UU KPK). Dalam peraturan yang lain yaitu UU 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi Publik. Jadi tidak ada alasan pengecualian pada pasal 17 yang mendasari bahwa, proses seleksi Deputi Penindakan itu merupakan informasi yang dikecualikan (tertutup)," ujarnya.

Sehingga, proses seleksi yang “gelap”, tidak saja menyalahi asas keterbukaan dan akuntabilitas dalam UU KPK, tetapi juga mengabaikan prinsip keterbukaan dalam UU KIP.

Hal lain yang perlu dikhawatirkan, lanjut Wana, metode yang tertutup seperti ini akan semakin menambah kecurigaan akan adanya agenda terselubung untuk menempatkan pejabat tertentu di KPK yang sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu, baik itu karena faktor jejaring individu, jaringan kelompok politik maupun arahan dari pihak tertentu yang tengah berkuasa.

Padahal, apabila dibandingkan dengan seleksi sebelumnya pada tahun 2018, yang mana Firli Bahuri terpilih menjadi Deputi Penindakan, informasi mengenai tahapan dan calon disampaikan oleh KPK. Bahkan KPK meminta bantuan lembaga lain, salah satunya Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam konteks menggali rekam jejak setiap calon.

"Namun pada saat proses seleksi saat ini, PPATK tidak dilibatkan sama sekali," ujarnya.

Oleh karena itu, ICW meminta KPK harus melibatkan lembaga lain yang kompeten, terutama PPATK untuk menggali informasi mengenai transaksi keuangan dan menguji integritas dari setiap calon yang mendaftar.

Pasalnya, Wana menegaskan, posisi Deputi Penindakan KPK memiliki peran sentral dalam proses penanganan perkara korupsi.

"Apabila posisi tersebut diisi oleh orang yang tidak memiliki integritas dan kapasitas yang memadai, maka kepercayaan publik terhadap KPK akan semakin tergerus," kata Wana.

Poin penting lainnya adalah masa depan independensi kelembagaan KPK. Karena jika melihat data calon Deputi Penindakan KPK, mayoritas mereka  berasal dari institusi penegak hukum. Jika pejabat penindakan KPK diisi oleh aparat penegak hukum saja, maka potensi konflik kepentingan akan terjadi, terutama ketika KPK mengusut perkara korupsi di institusi penegak hukum tersebut

"Untuk itu, pimpinan KPK harus selalu menunjukkan integritas, profesionalitas dan reputasi yang baik dalam keputusan-keputusan yang diambil dan mengikat kelembagaan KPK. Termasuk dalam proses seleksi Deputi Penindakan KPK agar KPK tidak semakin kehilangan kepercayaan publik di kemudian hari," ujarnya.

Terpopuler: Perwira Polisi Mesum dengan Istri Orang, Prediksi Sikap Politik PDIP usai Hasto Tersangka