Logo DW

UN 2020 Ditiadakan, Apa Indikator Pengganti Paling Ideal?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyampaikan alasan utama ditiadakannya UN 2020 adalah menimbang prinsip keamanan dan kesehatan dari para siswa dan keluarganya.

Dengan ditiadakannya UN akibat wabah COVID-19, Nadiem mengakui tolok ukur pemetaan pendidikan nasional jadi terhambat. Namun menurutnya, pemerintah kini mempunyai lebih banyak waktu untuk menyempurnakan penilaian kompetensi yang tengah dikembangkan untuk menggantikan UN tahun 2021.

Meski UN telah ditiadakan, Nadiem menyebutkan bahwa sekolah bisa menjalankan berbagai opsi, salah satunya menyelenggarakan ujian sekolah secara online, agar tidak melakukan tes tatap muka yang mengumpulkan siswa dalam ruangan kelas.

Apa indikator pengganti UN yang paling ideal?

Kepada DW Indonesia, pengamat pendidikan Budi Trikorayanto sepakat bahwa keputusan pemerintah meniadakan UN akibat wabah COVID-19 ini sudah tepat karena ujian rencananya diselenggarakan sekitar April dan Mei yang diprediksi menjadi puncak penyebaran wabah virus corona.

Budi menjelaskan bahwa orang tua dan siswa tidak perlu panik karena UN bukan syarat kelulusan dan sama sekali tidak berpengaruh.

‘'Ketika itu (UN) masih menjadi penentu kelulusan, UN itu habis dicurangi mati-matian bagaimana caranya supaya (siswa) bisa lulus. Tetapi ketika UN sudah tidak menjadi penentu kelulusan, dia jadi jujur. Maka nilai ujian sekolah USBN dibandingkan dengan nilai UNBK itu gap-nya sangat jauh,'' jelas Budi kepada DW Indonesia.

Lebih lanjut, Budi menjelaskan sekolah-sekolah bisa melakukan evaluasi secara mandiri dengan tetap menyelenggarakan ujian sekolah sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud).

‘'Sekarang ‘kan di aturan menteri yang baru (UN) dimerdekakan… Ditambah penentuan kelulusannya adalah rata-rata rapot selama beberapa semester terakhir,‘‘ ujarnya.

Menurutnya, indikator pengganti UN bagi siswa SMA yang paling ideal adalah proses seleksi di jenjang selanjutnya. Misalnya nilai SBMPTN yang menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa SMA ke perguruan tinggi. Perguruan tinggi atau jenjang lebih tinggi yang ingin dituju oleh siswa harus mempunyai mekanisme untuk menyeleksi calon peserta didiknya dengan beberapa kriteria misalnya wilayah tempat tinggal, akumulasi nilai, prestasi akademik dan nonakademik.

‘'Penentunya nilai SBMPTN, selama ini juga mereka tidak melihat ijazah, nilai UN juga tidak menjadi penentu untuk diterima atau tidak di PTN,'' jelasnya.

Antisipasi kecurangan penerapan sistem berbasis online

Saat ini Kemendikbud mengkaji opsi pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) sebagai pengganti UN yang diselenggarakan dalam jaringan (daring). Hanya saja, menurut Budi pemerintah perlu memperhatikan celah potensi terjadinya kecurangan. Ia menyebutkan bahwa pemerintah harus berani secara nasional menggunakan sistem yang kuat.

‘‘Ujian nasional berbasis komputer memakai server lokal, jadi bukan pakai server nasional. Kemarin diuji coba untuk USBN simulasi dengan menggunakan server DKI Jakarta, bukan server sekolah, ternyata down (sistemnya) tidak bisa. Jadi tidak cukup kuat mereka,‘‘ katanya.

Lebih lanjut, Budi menilai USBN bisa saja tidak diselenggarakan dan diganti dengan kepercayaan terhadap sekolah-sekolah untuk memberikan penilaian kepada siswanya tanpa tes. Menurutnya, yang terjadi selama ini adalah ketika siswa selesai ujian, nilai akhir akan dikembalikan pada sekolah.

‘‘Sekolah (nilai) akan digoreng lagi dengan mempertimbangkan perilaku, absensi dan sebagainya sehingga relatif semua nilai itu di atas standar minimal. Kecuali anak tidak hadir di USBN itu tidak lulus, tetapi kalau yang hadir hampir semua lulus,‘‘ sebutnya.

Mempercepat kemerdekaan belajar

Budi menambahkan selama ini sistem pendidikan Indonesia memang serba diatur dan harus mengikuti standar. Zaman itu menurutnya sudah berlalu dan perlu peningkatan pembelajaran yang disesuaikan dengan minat dan bakat seorang anak.

‘‘Tertuang secara eksplisit di surat edaran nomor 4 tahun 2020 bahwa anak-anak dibiarkan untuk belajar sesuai minat dan bakatnya,‘‘ jelas Budi kepada DW Indonesia.

Budi menjelaskan bahwa kondisi darurat akibat penyebaran virus corona di Indonesia ini secara tidak langsung mempercepat kemerdekaan belajar.

"Walaupun bungkusnya masih force majeure dan ketika sekolah-sekolah bingung mencari cara, biarkan saja, karena itu bagian dari proses kemerdekaan. Sama seperti orang baru dari penjara dikasih keluar itu mereka bingung mau cari kerja bagaimana. Nanti akan ketemu juga akhirnya. Di sekolah, guru itu banyak yang pintar-pintar juga, mereka akan mampu berkreasi,” sebutnya.

Yang terpenting menurutnya adalah pemerintah pusat harus memberikan arahan yang jelas ke seluruh negeri. Budi menjelaskan bahwa Kemendikbud harus memberikan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis ujian yang cukup detail, misalnya: ‘‘Bagaimana cara penerbitan dan penulisan di ijazah, apakah sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana menilai anak, apakah sekadar nilai raport semester dirata-rata ditambah portfolio, ditambah absen atau apa.‘‘ (pkp/ae)