Gayus Lumbuun Ingatkan Anak WNI Eks ISIS Perlu Dilindungi
- tvOne
VIVAnews - Persoalan warga negara Indonesia eks ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) masih belum sepenuhnya selesai. Apakah 689 WNI eks ISIS tersebut, semuanya layak untuk tidak dipulangkan oleh pemerintah?
Mantan Hakim Mahkamah Agung, Topane Gayus Lumbuun, menyatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk tidak memulangkan WNI eks ISIS dapat diterima. Menurutnya, tindakan itu tepat.
Namun persoalannya, dia menilai tindakan pemerintah tersebut didasarkan pada pendekatan yang menggeneralisir semua 689 WNI tersebut, tanpa memperhitungkan hal-hal yang bersifat individual, baik dari segi usia, jenis kelamin serta keterlibatannya. Gayus mengingatkan bahwa di antara ratusan orang tersebut terdapat anak-anak yang layak mendapatkan perlindungan hukum.
Gayus mengatakan penanganan lanjutan terhadap WNI eks ISIS dapat ditempuh melalui pendekatan hukum yang lebih sesuai dengan kondisi masing-masing terutama dari perspektif anak dan perempuan. Oleh karena itu, kebijakan yang memperlakukan sama antara orang tua dan anak termasuk perempuan yang tidak dapat menghindarkan diri dari gerakan ISIS perlu menjadi catatan bagi pemerintah.
"Anak adalah generasi muda penerus cita-cita bangsa dan negara," kata Gayus dalam diskusi 'Menimbang Aspek Legalitas WNI Eks Anggota ISIS" di Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Rabu, 11 Maret 2020.
Gayus yang juga Dosen Kajian Terorisme UI tersebut menuturkan anak memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Dia mengingatkan agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial.
"Untuk anak di bawah umur yang direkrut secara langsung oleh kelompok yang terlibat kejahatan teror ISIS tersebut maka penanganannya harus menerapkan prinsip peradilan anak. Hukuman pidana seperti penjara harus menjadi opsi terakhir," kata Gayus.
Gayus menjelaskan hukum nasional maupun konvensi internasional memberikan perlindungan khusus terhadap anak dan perempuan terutama dalam situasi konflik dan perang. Untuk anak di bawah umur yang direkrut secara langsung oleh kelompok yang terlibat kejahatan teror ISIS maka penanganannya harus menerapkan prinsip peradilan anak.
Mantan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tersebut membeberkan sejumlah undang-undang yang mengatur soal perlindungan anak, di antaranya, UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1, 5, 6, 7, 8. Lalu, pasal 37 Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak), dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011.
Negara Hukum
Guru Besar Hukum Administrasi Negara tersebut mengemukakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan pemerintahan berdasarkan hukum (government by law). Pengakuan sebagai negara hukum sangat penting karena kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak terbatas (tidak absolut).
"Perlu pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan negara dan politik untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dari pihak penguasa," katanya.
Dia mengatakan pemerintah memiliki opsi terhadap WNI eks ISIS yang ingin kembali ke Indonesia, yaitu diadili secara hukum. Tindakan yang dilakukan oleh ISIS telah ditetapkan sebagai tindakan terorisme oleh Dewan Keamanan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Menurutnya, para WNI eks ISIS tersebut dapat dijerat dengan hukum Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU Terorisme. Selain itu, mereka juga bisa dikenakan perbuatan makar terhadap negara sahabat, dalam hal ini di negara Suriah, yaitu pasal 139b KUHP, dan pasal 5 ayat (2) KUHP yang mengatur soal WNI yang melakukan tindak pidana di negara lain.
"Meskipun perbuatan tersebut (terorisme) dilakukan di luar wilayah Indonesia, tindakan yang dilakukan oleh WNI eks ISIS tetap dapat diadili dengan hukum Indonesia," ujar tokoh kelahiran Manado tersebut.
Gayus menambahkan pengadilan terhadap WNI eks ISIS dapat dilakukan secara in absentia. Sebagaimana halnya dalam perkara pidana, konsep in absentia adalah konsep di mana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa.
Karena itu, tegas dia, status kewarganegaraan WNI Eks ISIS perlu diselesaikan melalui pengadilan untuk dapat diproses secara berbeda terhadap 689 WNI eks ISIS. Perlakuan terhadap anak-anak tidak dapat disamakan dengan orang tua terutama ayah yang didasarkan pada pilihan sukarela atas keyakinannya.
"Untuk anak-anak dan isteri kehilangan WNI karena bergabung dengan ISIS tidak dapat dinilai dilakukan secara sukarela dan kesengajaan tetapi karena dalam keadaan terpaksa," tutur Gayus Lumbuun.