Diawasi 7 Institusi, Dirut BPJS Jamin Transparansi Keuangan
- VIVAnews/ Lucky Aditya (Malang)
VIVA – Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, ada tujuh institusi yang mengawasi BPJS selama ini. Mulai dari DPR RI lewat rapat dengar pendapat, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang turun melakukan audit. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) turun melalukan penugasan tertentu.
Kemudian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setiap tahun mengaudit keuangan, termasuk soal ada atau tidak operasional di BPJS. Selain itu, juga ada Dewan pengawas yang sifatnya internal mengawasi, yakni Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Lalu ada KPK yang bertindak sebagai pengawas research dan pengembangan.
"Ya kita sebagai lembaga, satu, ada 7 institusi yang mengawasi. Jadi itu semua menggambarkan bahwa semua data yang kemudian diharapkan masyarakat sebenernya sudah terpublikasi melalui proses pengawasan itu," kata Fachmi saat di Malang, Jawa Timur, Rabu, 11 Maret 2020.
Fachmi mengungkapkan, di luar pengawasan 7 institusi itu. Setiap bulan BPJS Kesehatan rutin melakukan laporan kepada empat lembaga, yakni Kementeriaan Keuangan, Kementerian Kesehatan, OJK, dan Dewan Pengawas internal.
"Dan setiap 6 bulan kita selalu melaporkan pada Presiden. Setiap tahun kita melaporkan laporan tahunan untuk melihat kondisi itu dan laporan yang sifatnya milik publik silahkan membaca laporan itu," ujar Fachmi.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku, tidak akan hanya berdiam diri setelah Mahkamah Agung membatalkan kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019. Padahal kebijakan itu ditempuh guna menyelamatkan neraca keuangan BPJS Kesehatan yang terus defisit.
Sri menegaskan, akan menempuh berbagai skema penyelamatan defisit BPJS Kesehatan yang terus membengkak tiap tahunnya, dari yang pada 2019 sebesar Rp32,8 triliun dan diperkirakan akan melonjak menjadi Rp39,5 triliun pada 2020 dan pada 2021 menjadi Rp50,1 triliun. Salah satunya dengan meminta manajemen BPJS Kesehatan semakin transparan.
"Kita minta BPJS transparan, biaya operasi berapa dan berapa gajinya, utangnya, defisit berapa. Itu semua kita rangkum supaya masyarakat tahu ini masalah bersama, bukan satu institusi saja. Ini dilakukan pemerintah, kita terus coba banngun ekosistem JKN yang sehat dan berkeadilan, sustain," tutur Sri di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa, 10 Maret 2020.