Tiga Pasal Omnibus Law yang Dianggap Merugikan Pekerja
- ANTARA FOTO
VIVA – DPR telah menerima secara resmi draf Omnibus Law Cipta Kerja. Pemerintah mengklaim Omnibus Law Cipta Kerja ini bisa meningkatkan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha.
Berdasarkan draf yang diterima VIVAnews, berikut pasal-pasal yang diusulkan pemerintah dan kritik dari organisasi buruh terhadap usulan tersebut.
1. Upah Minimum KerjaÂ
Usulan pemerintah soal upah minimum kerja diatur dalam Pasal 88C ayat (1) mengatur gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. Ayat (2) berbunyi upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.Â
Secara teknis, pemerintah mengusulkan rumus perhitungan upah minimum pada Pasal 88D ayat (1). Rumus tersebut didasarkan pada upah minimum yang ditetapkan dalam peraturan pelaksanaan Undang-undang Ketenagakerjaan terkait pengupahan.
Atas usulan ini, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal mengkritik upah minimum yang hanya didasarkan pada upah minimum provinsi (UMP). Sebab upah minimum provinsi akan secara otomatis menghapus aturan soal upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Umumnya, nilai UMP lebih kecil daripada UMK.
"UMP tidak dibutuhkan dan tidak ada daerah di seluruh wilayah Indonesia, pengusahanya membayar pakai UMP. Tapi mereka membayar upah buruh dengan UMK atau UMSK, kecuali di DKI dan Yogyakarta," kata Said melalui keterangan tertulisnya, Senin 17 Februari 2020.Â
2. Pesangon
Pemerintah menyusun besaran pesangon pada Pasal 156 Pasal (1) sampai Pasal (5). Perhitungan uang pesangon ditentukan berdasarkan masa kerja.Â
Salah satu poin yang mengatur masa kerja kurang dari satu tahun dibayar satu bulan upah. Contoh lain mekanisme pemberian pesangon untuk masa kerja 8 tahun atau lebih dibayar 9 bulan upah.
Lalu terdapat juga poin yang mengatur pengusaha dapat memberikan uang pergantian hak yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja juga diatur dalam Pasal 156 ayat (3). Salah satu ayat, misalnya ayat a mengatur masa kerja tiga tahun atau lebih tapi kurang dari 6 tahun diberi dua bulan upah. Poin ini mengatur soal pemberian uang penghargaan hingga masa kerja 21 tahun atau lebih diberi 8 bulan upah.Â
Said mengkritik besaran uang penghargaan turun nilainya dalam RUU Omnibus Law. Sebab dalam UU Nomor 13 tahun 2003 diatur soal uang penghargaan untuk masa kerja paling lama 24 tahun diberi uang 10 bulan upah.
"Uang penghargaan masa kerja dari maksimal 10 bulan hanya menjadi 8 bulan," kata Said.
3. Jam Kerja
Dalam Pasal 77 RUU Omnibus Law mengatur jam kerja maksimal. Pada Pasal 77 ayat (2) mengatur waktu kerja paling lama 8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu.
Adapun pada Pasal 77A ayat ayat (1) disebutkan pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu.
Said menilai dengan jam kerja ini, pengusaha bisa mengatur seenaknya jam kerja dengan upah per jam. Bila dibandingkan dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 diatur waktu kerja maksimal 7 jam per hari untuk 6 hari kerja dan 8 jam sehari untuk 5 hari kerja.
"Ini tak ubahnya seperti kerja rodi dan bersifat eksploitatif. Karena bisa saja pengusaha memerintahkan buruh bekerja 12 jam sehari selama 4 hari kerja tanpa dibayar upah lembur," kata Said.