Heboh Lucinta Luna, MUI Ingatkan Fatwa Haram Ganti Kelamin
- Istimewa
VIVA – Kasus narkoba artis kontroversi Lucinta Luna menyedot perhatian publik. Tapi bukan soal tindak pidananya, melainkan ihwal jenis kelamin Lucinta Luna yang berganti dari laki-laki menjadi perempuan. Begitu juga sang kekasihnya, yang juga transgender, dari wanita menjadi pria.
Sebelum ramai kasus narkoba yang melibatkan Lucinta Luna, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ternyata sudah mengeluarkan fatwa mengenai penggantian alat kelamin itu. Fatwa yang diberi judul "Fatwa tentang Penggantian dan Penyempurnaan Jenis Kelamin" itu ditetapkan Juli 2010.
"Seiring dengan fenomena pergantian jenis kelamin yang menjadi isu publik sejak kasus pidana narkoba oleh artis, pria menjadi wanita atau sebaliknya, maka Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyampaikan fatwa terkait, yang ditetapkan Juli 2010," kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam dalam keterangan tertulisnya diterima VIVAnews, Rabu, 12 Februari 2020.
Asrorun menjelaskan, fatwa tentang itu secara hukum menuturkan beberapa hal. Berikut bunyi fatwa tersebut:
A. Pergantian Alat Kelamin
1. Mengubah alat kelamin dari pria menjadi wanita atau sebaliknya yang dilakukan dengan sengaja, misal dengan operasi kelamin, hukumnya haram.
2. Membantu melakukan ganti kelamin sebagaimana poin 1 hukumnya haram.
3. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi pergantian alat kelamin sebagaimana poin 1 tidak dibolehkan dan tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait pergantian tersebut.
4. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi ganti kelamin sebagaimana poin 1 adalah sama dengan jenis kelamin semula seperti belum dilakukan operasi ganti kelamin, mesti telah memperoleh penetapan pengadilan.
B. Penyempurnaan Alat Kelamin
1. Menyempurnakan alat kelamin bagi seorang ‘khantsa’ yang fungsi alat kelamin laki-lakinya lebih dominan atau sebaliknya, melalui proses operasi penyempurnaan alat kelamin, maka hukumnya diperbolehkan.
2. Membantu melaksanakan penyempurnaan alat kelamin seperti dimaksud poin 1, diperbolehkan.
3. Pelaksanaan operasi penyempurnaan seperti dimaksud poin 1 itu harus berdasarkan atas pertimbangan medis bukan hanya pertimbangan psikis semata.
4. Penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi yang dimaksud poin 1 dibolehkan sehingga memiliki implikasi hukum syar’i terkait penyempurbaan tersebut.
5. Kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi dimaksud poin 1 adalah sesuai dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan sekalipun belum mendapat penetapan pengadilan terkait perubahan status tersebut.