Kisah Penyelamatan Orangutan Korban Kebakaran Hutan di Ketapang
- Ist
VIVA – Kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau 2019 lalu masih menyisakan duka. Kerusakan ekologi akibat api tidak bisa pulih begitu saja. meskipun hujan sudah kembali membasahi bumi. Efek kebakaran hutan masih terasa hingga saat ini.
Sebagai makhluk yang hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan, orangutan paling merasakan dampak hancurnya hutan akibat kebakaran hutan. Kebakaran yang menghancurkan rumah mereka membuat mereka kehilangan tempat tinggal, dan tidak hanya sumber makanan, tetapi juga merampas ruang hidup mereka.
Mereka terpaksa mencari tempat yang lebih baik, meskipun kenyataannya hutan sudah benar-benar musnah dan tidak ada lagi tempat untuk menyelamatkan diri. Mereka biasanya akan berakhir di kebun atau pemukiman warga dan menghadapi risiko konflik dengan manusia. Setelah sebelumnya menyelamatkan belasan orangutan yang kehilangan rumah pasca kebakaran besar 2019.
Tim gabungan IAR Indonesia dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat Seksi Konservasi wilayah (SKW) I Ketapang kembali menyelamatkan dua individu orangutan induk dan anak dari Jalan Pelang-Tumbang Titi km 9, Kecamatan Matan Hilir Selatan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, Minggu 2 Februari 2020.
"Penyelamatan orangutan tersebut berawal adanya Seorang warga bernama Purnomo melaporkan ada orangutan yang sudah 3 hari bersarang di depan rumahnya di jalan Pelang-Tumbang Titi. Orangutan ini berasal dari hutan di sebelah timur jalan yang hangus terbakar dan kemudian menyeberang jalan raya.
Ironisnya, tempat para orangutan menyelamatkan diri inipun sudah tidak lagi menyisakan pepohonan yang cukup layak untuk mereka makan dan mencari penghidupan," kata Manager Survey Penyelamatan Argitoe Ranting kepada VIVAnews, Kamis 6 Februari 2020.
Dia menambahkan penyelamatan dua individu orangutan ini dilakukan lantaran di hutan di di tempat kedua orangutan ini sudah habis terbakar, menyisakan sisa batang pohon yang hangus dan ilalang yang mulai tumbuh. Hanya perlu waktu beberapa minggu untuk menghanguskan hutan dan perlu waktu puluhan tahun untuk bisa merestorasinya kembali.
Ketika tim penyelamat datang, tim menemukan 3 individu orangutan, satu jantan dewasa, satu betina dewasa dan anaknya yang diperkirakan berusia 3 tahun. Mereka bertahan di pohon kering yang nampak kepayahan menahan beban mereka. Tim penyelamat yang berfokus pada penyelamatan induk dan anak sempat kehilangan orangutan jantan ini.
"Kami mengutamakan menyelamatkan induk dan anak ini karena kondisi keduanya lebih mengkhawatirkan daripada orangutan yang jantan,“katanya.
Argitoe Ranting melanjutkan orangutan jantan itu masih sangat liar dan masih cukup kuat. Dia masih akan lebih bisa bertahan untuk waktu yang lama. Meskipun demikian kami tetap menurunkan tim patroli Orangutan Protection Unit (OPU) kami untuk melakukan patroli dan monitoring di sekitar kawasan ini karena sebenarnya daya dukung kehidupan untuk orangutan bisa dikatakan tidak ada sama sekali,” jelasnya.
Untuk mengevakuasi induk anak ini, tim penyelamat menggunakan senapan bius untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara di lapangan, induk orangutan ini mengalami malnutrisi dengan badan yang sangat kurus. Diduga induk anak orangutan ini mengalami kelaparan selama berbulan-bulan.
Tidak mengherankan melihat kondisi hutan yang hancur lebur dilalap api pada akhir tahun silam. Pemantauan dari udara menunjukan sudah tidak ada lagi hutan yang layak bagi orangutan ini untuk hidup dalam radius beberapa kilometer.
Saat ini induk anak orangutan yang diberi nama Mama Rawa dan baby Rawa ini dibawa ke Pusat Rehabilitasi Orangutan IAR Indonesia di Sungai Awan, Ketapang untuk menjalani pemeriksaan dan perawatan lebih lanjut. Nantinya kedua orangutan ini akan dipindahkan ke hutan yang lebih layak untuk menjamin kehidupannya.
“Kebakaran hutan sejauh ini merupakan ancaman terbesar bagi orangutan di wilayah kerja IAR Indonesia,"ujarnya.
Sementara itu Karmele L. Sanchez, direktur program IAR Indonesia. Mengatakan Hilangnya hutan dengan skala sebesar ini, membuat tidak ada lagi cukup ruang bagi orangutan untuk bertahan hidup. Penyelamatan selalu merupakan pilihan terakhir, tetapi kadang-kadang itulah satu-satunya.
"Kita tidak bisa membiarkan orangutan hidup di sisa sisa pepohohanan yang telah dimakan api dan tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk pergi. Demi kehidupan semua populasi orangutan yang tersisa, Kita harus terus bekerja sangat keras untuk melindungi habitat mereka dari kebakaran," tambahnya.
Kepala BKSDA Kalbar, Sadtata Noor Adirahmanta, menuturkan kerusakan habitat satwa pada akhirnya akan menyengsarakan manusia dengan semakin maraknya konflik antara satwa dan manusia. Kegiatan penyelamatan tersebut hanyalah sebuah tindakan kecil, bahkan sangat kecil, dibandingkan dengan langkah-langkah dan kebijakan yang seharusnya diambil ke depan.
"Kepedulian akan keberadaan dan kelestarian satwa menjadi tanggungjawab bersama baik pemerintah, mitra maupun masyarakat. Pada hakekatnya peduli pada satwa liar adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri," katanya.