Logo BBC

Kisah Nelayan Natuna Gali Lubang Tutup Lubang Hidup di Surga Ikan

Nelayan tradisional Natuna, Sodikin menyebut kapal dan alat tangkap ikannya tidak memadai. Sodikin sedang berdiri di halaman belakang rumahnya di Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna. - BBC Indonesia/ Haryo Wirawan
Nelayan tradisional Natuna, Sodikin menyebut kapal dan alat tangkap ikannya tidak memadai. Sodikin sedang berdiri di halaman belakang rumahnya di Pulau Tiga Barat, Kabupaten Natuna. - BBC Indonesia/ Haryo Wirawan
Sumber :
  • bbc

"Memang kondisi kita seperti ini. Kayak mana lah. Sedih tak sedih ya mau bagaimana lagi," kata Bariah dengan nada pasrah.

`Gali lubang tutup lubang`

Pengalaman yang sama juga dialami oleh Sudiro.

Tiga hari melaut, ia hanya mendapatkan satu ekor tongkol. Padahal ia telah menghabiskan 60 liter solar untuk bahan bakar kapal.

"Sekarang, tidak ke laut dulu, cari cengkeh hari ini dan dapat tujuh kilogram. Upahnya Rp6.000 per satu kilo," kata Sudiro.

Di pulau ini, warga memiliki sumber penghasilan cadangan yaitu dari hasil perkebunan tradisional pohon cengkeh.

Pendapatannya kadang Rp500.000, Rp200.000 dan bahkan tidak mendapat uang sama sekali.

Namun hasilnya tidak bisa diharapkan, kata Sudiro, karena berbuah hanya sekitar dua hingga tiga tahun sekali.

Harga cengkeh saat ini Rp15.000 untuk yang baru dipetik dan Rp50.000 untuk yang sudah dikeringkan.

Setiap kali melaut, Sudiro harus mengeluarkan Rp210 ribu. Ia pergi subuh dan pulang sore hari.

Ia pun mengumpamakan kehidupan ekonomi nelayan tradisional Natuna khususnya di Pulau Tiga Barat seperti "gali lubang tutup lubang". Katanya, tidak ada uang lebih yang bisa ditabung.

"Tutup lubang, gali lubang saja. Tidak ada lebih, tidak ada kurang. Dapat hari ini, besok tidak. Rata-rata begitu. Nelayan pas-pasan cari makan," keluhnya yang biasa melaut antara 10 mil hingga 20 mil.

Nelayan lain, Sodikin mengatakan, rendahnya hasil tangkapan ikan nelayan Pulau Tiga Barat disebabkan karena minimnya fasilitas yang dimiliki nelayan, baik ukuran kapal yang terlalu kecil, hingga ketiadaan radar, GPS (Global Positioning System) dan radio komunikasi.

"Sedih memang, ikan itu banyak (di Natuna). Tapi kita tidak bisa jauh, pompong (kapal) kecil, alat (komunikasi) tidak ada. Ada angin sedikit kita takut dan langsung pulang," katanya.

Ada sekitar 500 nelayan tradisional di Pulau Tiga yang mengantungkan hidup pada hasil laut.

Para nelayan itu pun berharap agar mendapatkan bantuan kapal yang memadai, seperti kapal kayu berukuran sekitar dua hingga lima GT yang dilengkapi dengan alat tangkap dan alat komunikasi sehingga mereka dapat aman dan maksimal dalam bekerja.