Jokowi Diminta Turun Tangan Selesaikan Masalah Penyeberangan
- Istimewa
VIVA – Keterlibatan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi dalam penetapan tarif angkutan penyeberangan dinilai langkah mundur, karena justru memperpanjang rantai birokrasi dan menghambat usaha.
Hal ini disampaikan praktisi dan pemerhati sektor transportasi logistik, Bambang Haryo Soekartono, dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 22 Januari 2020. Menurut Bambang, berlarut-larutnya penetapan tarif penyeberangan kapal ferry yang telah diusulkan Kementerian Perhubungan sejak akhir tahun lalu karena harus dikaji kembali oleh Kemenko Maritim dan Investasi.
Padahal, katanya, pembahasan tarif di Kemenhub sudah molor selama 1,5 tahun dan belum pernah naik sejak tiga tahun lalu. Sesuai regulasi, evaluasi tarif penyeberangan seharusnya dilakukan 6 bulan sekali.
Anggota DPR RI periode 2014-2019 itu mengatakan keterlibatan Kemenko Maritim dan Investasi dalam evaluasi tarif penyeberangan bertentangan dengan semangat Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.
"Kemenko Marves justru menghambat kemudahan berusaha karena birokrasi makin panjang dan bertele-tele, tidak sesuai dengan jargon Presiden Jokowi memangkas regulasi dan birokrasi," ujar Bambang.
Sejak era Orde Baru, jelas Bambang Haryo, birokrasi evaluasi tarif telah dipangkas dengan menghilangkan mekanisme melalui DPR RI sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21/1992 tentang Pelayaran.
Ketentuan ini diperkuat dengan PP No. 82/1999 tentang Angkutan di Perairan, yang menyebutkan penetapan tarif cukup melalui Menteri Perhubungan.
"Orde Baru sekalipun menyadari tarif angkutan adalah masalah krusial karena menyangkut keselamatan penumpang dan logistik. Seharusnya pemerintahan Jokowi yang berorientasi maritim lebih sensitif dan responsif," tuturnya.
Bambang menilai Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan terkesan tidak mengerti sektor transportasi dan maritim, sehingga lamban merespons usulan tarif penyeberangan.
Menurut dia, dampak kenaikan tarif terhadap harga barang yang diangkut hanya 0,05 persen sehingga tidak perlu dikhawatirkan. "Kenaikan itu mungkin kecil bagi pemilik barang, tetapi besar artinya bagi angkutan penyeberangan untuk menjaga kelangsungan usaha dan menjamin keselamatan nyawa publik," ujarnya.Â
Bambang mengatakan evaluasi tarif penyeberangan sebenarnya bukan domain Menko Maritim dan Investasi, melainkan Menko Perekonomian. Jika pun terlibat, Menko Maritim dan Investasi sebaiknya hanya mengawasi dan membantu agar birokrasinya lancar. "Bukan justru menciptakan birokrasi baru," katanya.
Dia khawatir angkutan penyeberangan berhenti operasi dalam waktu dekat karena kesulitan membayar gaji karyawan dan kewajiban lain. "Kalau penyeberangan kolaps dampaknya sangat luas, angkutan penumpang dan logistik terhenti sehingga ekonomi akan mandek," katanya.
Oleh karena itu, dia mendesak Presiden Joko Widodo memperhatikan masalah ini karena sudah molor cukup lama, sementara kondisi usaha penyeberangan nasional semakin kritis.
Presiden juga diminta menegur atau mengganti para pembantunya yang tidak paham dan tidak becus mengurusi sektor transportasi.Â
Selain terganjal birokrasi, ungkap Bambang, sektor pelayaran kini dibebani banyak regulasi baru yang menambah biaya hingga 100 persen, belum termasuk kenaikan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga 1.000 persen.