Serangan Harimau Dipenghujung 2019, Lima Warga Sumsel Tewas
- VIVAnews / Bambang Irawan (Pekanbaru, Riau)
VIVA – Kemuculan Harimau di Sumatera Selatan menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Bagaimana tidak, sedikitnya sudah ada tujuh kasus serangan binatang buas tersebut, dengan lima di antaranya meninggal dunia.
Kasus serangan Harimau yang berlangsung sejak November hingga Desember 2019 ini pun, tidak hanya terjadi di satu wilayah saja. Kemunculan Harimau ada di Pagaralam, Lahat dan Muara Enim.
Kasus pertama serangan Harimau terjadi pada 15 November 2019. Seorang wisatawan terluka usai diserang Harimau Sumatera di kawasan wisata Tugu Rimau, Pagaralam.
Sehari berselang, Harimau Sumatera kembali menyerang petani lokal di Kabupaten Lahat. Serangan Harimau itu membuat petani bernama Wanto (53 tahun) tewas dengan kondisi mengenaskan.
Tidak berhenti sampai di situ. Di awal Desember atau pada 2 Desember 2019, Marta, warga lokal di Dempo Selatan, Pagaralam, diserang Harimau hingga membuatnya mengalami luka serius.
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 5 Desember 2019, Harimau Sumatera kembali menerkam masyarakat lokal. Serangan tersebut membuat Yudiansyah, warga Dempo Selatan juga tewas.
Lalu, seorang warga bernama Mustadi juga tewas mengenaskan usai diterkam Harimau di perbatasan Muara Enim-Lahat, pada 12 Desember 2019. Belum cukup, Harimau Sumatera kembali menerkam hingga tewas masyarakat lokal bernama Suwadi, warga Kabupaten Lahat pada 22 Desember 2019.
Terbaru ialah Sulistiowati (30 tahun), seorang warga di dusun V Talang Tinggi, Desa Padang Bindu, Kecamatan Tanjung Agung, Muara Enim, pada 27 Desember 2019, tewas usai diterkam Harimau Sumatera.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, Genman Hasibuan mengatakan, rentetan serangan harimau Sumatera terhadap manusia meningkat drastis di akhir 2019.
Padahal di beberapa bulan dan tahun sebelumnya tidak ada laporan kasus serangan Harimau yang mengakibatkan jatuhnya korban luka atau jiwa.
Dia menduga, faktor kuat yang membuat meningkatnya serangan satwa buas dilindungi itu lantaran habitat Harimau Sumatera di kawasan hutan lindung sudah banyak yang rusak, bahkan terdegradasi menjadi perkebunan.
"Terdegradasi karena banyaknya kegiatan-kegiatan di dalam kawasan hutan lindung yang merupakan habitat Harimau. Di sana banyak pembukaan hutan untuk kegiatan perkebunan dan ada illegal logging, serta permukiman kecil (talang)," jelas Genman, Selasa, 30 Desember 2019.
Selain mulai berkurangnya habitat Harimau, Genman menyebut ketersediaan pakan satwa dilindungi itu juga diyakini menyusut karena adanya perburuan terhadap hewan, seperti Kijang, Rusa, Kambing Hutan hingga Babi, yang merupakan satwa dalam rantai makanan Harimau.
"Jadi ya bisa saja kemungkinan ketersediaan pakan Harimau di dalam kawasan hutan lindung juga sudah berkurang," ucapnya.
Dalam upaya mencegah terjadinya serangan Harimau Sumatera terhadap masyarakat, BKSDA telah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi hingga Kabupaten/kota untuk melakukan penanganan terkait persoalan konflik Harimau Sumatera dengan manusia.
Misalnya, melakukan pemantauan terhadap pergerakan Harimau hingga mensosialisasikan tentang waktu batasan aktivitas masyarakat yang harus dihindari.
"Kami juga memasang box trap (kandang perangkap) dan camera trap karena di luar kawasan. Intinya Harimau akan kami tangkap untuk dievakuasi ke habitatnya kembali karena sudah di luar kawasan hutan. Itu jangka pendek," jelas Genman.
"Kalau jangka panjang tentunya semua pihak terkait karena konflik ini habitat yang rusak sehingga perlu perbaikan habitat. Tapi perbaikan habitat harus melibatkan beberapa instansi terkait karena kawasan itu bukan kewenangan BKSDA, tapi Dinas Kehutanan," terangnya.