Kecelakaan Lalu Lintas Meningkat, Pemerintah Diminta Introspeksi

Tim evakuasi jenazah korban bus maut Sriwijaya yang terjun ke jurang.
Sumber :
  • VIVAnews/ Sadam Maulana.

VIVA – Berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia, jumlah kecelakaan lalu lintas pada 2019 sebanyak 107.500 peristiwa, meningkat dari 103.672 peristiwa pada 2018 lalu.

Dari Sungai hingga Laut, Dampak Polusi Plastik pada Ekosistem Perairan

Jumlah korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas pada 2019 berjumlah 23.530 orang, turun dari 27.910 korban jiwa pada 2018.

Meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas ini dikritisi oleh Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Jawa Timur, Bambang Haryo Soekartono. Dalam keterangannya, Bambang menilai, pemerintah kurang memperhatikan pemangku kepentingan keselamatan sektor transportasi darat, sehingga kecelakaan di moda angkutan ini terus terjadi dan memakan korban cukup besar.

Kecelakaan Lalu Lintas Berujung Pembunuhan di Pulogadung: Pengemudi Tewas Dianiaya Setelah Tabrakan Mobil

"Pemerintah selalu mengambinghitamkan pengusaha angkutan setiap terjadi kecelakaan. Padahal, kecelakaan di Indonesia umumnya lebih disebabkan faktor human error, kendaraan, dan masalah infrastruktur," ujar Bambang, Selasa, 31 Desember 2019.

Menjelang akhir tahun 2019 saja, kata Bambang, masih terjadi dua kejadian fatal dengan korban jiwa cukup banyak, yaitu kecelakaan bus Sriwijaya di Sumatera Selatan yang menewaskan 35 orang dan kecelakaan truk trailer di Pasuruan, Jawa Timur, yang merenggut 7 nyawa.

Korban Luka hingga Tewas Akibat Truk Tronton Tabrak Ruko di Semarang Dipastikan Dapat Santunan

Menurut Bambang, ketiga faktor itu merupakan tanggung jawab pemerintah. Sebab, human error dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia yang distandardisasi oleh pemerintah, seperti melalui penerbitan SIM, uji kompetensi pengemudi, dan rekrutmen PNS.

Alat transportasi juga diawasi oleh pemerintah melalui sertifikasi uji tipe, uji kir, dan standardisasi pelayanan. "Jangan selalu menyalahkan pengusaha angkutan karena mereka hanya ikuti standar dan prosedur yang ditetapkan pemerintah. Apalagi mereka bisa diperiksa setiap saat oleh regulator," ujarnya.

Terkait dengan masalah infrastruktur, Bambang Haryo menilai pemerintah kurang memperhatikan jalan nasional antarprovinsi karena terlalu memprioritaskan pembangunan jalan tol.

"Semua jalan nasional tidak layak dan banyak yang rusak, tidak steril karena banyak lalu-lalang orang dan bangunan liar di tepi jalan, rambu-rambu dan penerangan jalan minim, sempit, banyak persimpangan dalam satu jalur dan perlintasan sebidang," ungkapnya.

Selain itu, lanjut Bambang, fasilitas transportasi seperti terminal tipe A dan jembatan timbang banyak yang tidak difungsikan. Padahal, pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan telah mengambilalih terminal tipe A dan jembatan timbang dari pemerintah daerah sejak beberapa tahun lalu.

"Terminal memiliki fungsi kontrol terhadap bus dan penumpangnya. Begitu juga jembatan timbang untuk mencegah truk overload. Kalau tidak difungsikan, sama saja Kemenhub menebar bibit-bibit kecelakaan," ujarnya.

Hingga kini, ungkap Bambang Haryo, hanya kurang dari 40 persen jembatan timbang yang difungsikan oleh Kemenhub dari sekitar 150 jembatan timbang di seluruh Indonesia.

Kondisi ini, menurut Bambang, sangat berbahaya karena truk overload menjadi tidak terkendali. "Padahal sudah banyak terjadi kecelakaan akibat truk overload, seperti di tol Cipularang dan Pasuruan belum lama ini," katanya.

Berbagai persoalan tersebut, menurut Bambang, menunjukkan bahwa kecelakaan transportasi sesungguhnya merupakan tanggung jawab pemerintah. "Pemerintah jangan selalu kambinghitamkan pengusaha angkutan, tetapi harus introspeksi diri. Berdayakan semua stakeholder terkait keselamatan transportasi untuk mencegah terjadinya kecelakaan," ucapnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya