Lima Tahun Ditutup, Warga Eks Lokalisasi Dolly Tagih Janji Risma
- Nur Faishal / VIVAnews.
VIVA – Warga terdampak penutupan Lokalisasi Jarak-Dolly buka suara mengeluhkan realiasi janji Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini alias Risma, soal pemberdayaan ekonomi warga terdampak penutupan yang dinilai yang tak maksimal.
Pemerintah Kota Surabaya di bawah kepemimpinan Risma memang memberikan rangsangan kepada warga terdampak agar bangkit secara ekonomi. Namun, rangsangan tersebut dinilai belum maksimal sehingga banyak warga kesulitan ekonomi.
"Contohnya, ada dua puluh orang butuh rombong, tapi hanya dikasih sepuluh rombong. Akhirnya rombongnya gantian. Alih profesi, kita enggak punya bekal," kata warga sekitar eks Lokalisasi Dolly, Benardi dalam diskusi bertajuk 'Refleksi Lima Tahun Penutupan Lokalisasi Jarak-Dolly', Surabaya, Senin 30 Desember 2019.
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Surabaya Hariyanto mengatakan, dialog dengan warga terdampak sebetulnya sudah dilakukan sebelum-sebelumnya. Hasilnya, pada dasarnya warga ingin berpindah mata pencaharian dari yang semula dinilai haram ke cara yang baik. Karena itu warga sepakat lokalisasi ditutup.
Namun, permasalahan ekonomi yang mengikuti penutupan Dolly-Jarak perlu juga diperhatikan secara serius. "Warga Dolly dan Jarak ini ingin hijrah ke jalan yang benar dan baik. Hijrah inilah yang harus kita dorong oleh semua elemen masyarakat, termasuk Pemkot Surabaya," kata Hariyanto.
Menurutnya, untuk memberdayakan masyarakat sekaligus mengembangkan perekonomian di kawasan eks Lokalisasi Dolly-Jarak, harus dimulai dari pembentukan kesadaran hukum. Itu penting untuk mengubah cara pandang masyarakat dari semula terbiasa dengan perilaku ekonomi ilegal menjadi legal, lebih-lebih di era digital sekarang.
"Untuk itu saya, selaku Ketua Peradi Surabaya siap mendapingi Dolly sebagai pilot project Kampung Sadar Hukum, dan pengurusan badan hukum usaha-usaha perekonomian di kawasan Dolly dan sekitarnya," ujar Hariyanto.
Warga eks lokalisasi Dolly lannya, Wahyu Rizki menyampaikan, beberapa hal dari kebijakan Pemkot Surabaya yang dinilai belum maksimal pascapenutupan Dolly. Di antaranya belum berfungsinya eks wisma sebagai penggerak ekonomi warga terdampak setelah dibeli pemkot.
Ada pun, pabrik sepatu yang digadang-gadang sebagai percontohan belum mampu menyerap tenaga kerja banyak. "Daya serap tenaga kerja tidak ada," katanya.
Begitu juga dengan Balai RW yang digunakan untuk usaha samiler oleh warga terdampak statusnya masih sewa. "Sentra PKL Dolly juga sampai sekarang tidak ada, tutup," ujar Wahyu.