Menerawang Sekuritisasi Aset Jadi Alternatif Biaya Pembangunan RI

Sejumlah kendaraan melintasi di jalan Tol Solo Ngawi saat penyusuran pra uji laik fungsi dan keselamatan Trans Jawa, Batang, Jawa Tengah
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru

VIVA – Akhir 2019, masih tampak risiko ketidakpastian global menyentuh perekonomian Indonesia. Bahkan, kondisi itu cenderung stagnan dengan tren melambat, dengan pertumbuhan ekonomi saat ini berada di level lima persen.

Harga komoditas internasional ekspor utama Indonesia, diperkirakan juga cenderung menurun, di antaranya batu bara dan minyak kelapa sawit, seiring dengan beralihnya permintaan dunia ke produk yang lain. 

Selain itu, risiko perang dagang, perlambatan ekonomi China, dan tekanan normalisasi kebijakan moneter yang beralih dari Amerika Serikat ke kawasan Eropa, juga masih menjadi kekhawatiran Indonesia.

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut, sulit bagi Indonesia untuk dapat naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi atau mengejar ketertinggalan pendapatan per kapita negara peers.

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Untuk itu, meski dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah berharap ekonomi Indonesia dapat tumbuh rata-rata 5,4-6,03 persen per tahun, tentu harus didukung sejumlah investasi yang berkelanjutan.

Investasi tersebut, diperkirakan mencapai Rp36.595,6–Rp37.447,6 triliun sepanjang 2020-2024. Di mana, pemerintah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan menyumbang masing-masing sebesar 11,6–13,8 persen dan 7,6–7,9 persen, lalu sisanya dari masyarakat atau swasta.

Sebelumnya, beberapa skema pembiayaan investasi untuk pembangunan sudah dilakukan pemerintah. Seperti, pemanfaatan sukuk project financing, revaluasi asset BUMN hingga pemanfaatan obligasi pemerintah.

Mayoritas Masyarakat Adat Poco Leok Dukung PLTP Ulumbu Unit 5-6: Narasi Penolakan Dinilai Tidak Berdasar

Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), David Sumual mengatakan, dalam mengejar target pembangunan pemerintah, memang sudah melakukan sejumlah inovasi untuk pembiayaan. Namun, kondisi itu tentu belum cukup, mengingat tingginya target.

Untuk itu, David menuturkan, sebenarnya ada beberapa alternatif pembiayaan yang bisa dilakukan pemerintah dalam jangka pendek ini. Alternatif ini, diakuinya, sangat cocok mengingat sudah terbangunnya sejumlah proyek infrastruktur.

Pemerintah Gandeng Pelaku Ekonomi Kreatif untuk Perkuat Ekosistem di Indonesia

Alternatif pembiayaan tersebut adalah sekuritisasi aset. Di mana, setiap proyek pemerintah yang sudah selesai dibangun dapat disewakan dan bekerja sama dengan swasta. Dan, dana sewa tersebut dapat digunakan untuk pembangunan selanjutnya.

"Sekuritisasi aset ini bukan dijual proyeknya, tetapi menyewakan cash flow-nya. Biasanya, ini untuk proyek Infrastruktur yang sudah jalan, di mana trafiknya sangat bagus dan risikonya rendah dan dananya untuk proyek lain," jelas David kepada VIVAnews.

Calon Bupati Citra Mus Optimis Wujudkan Era Baru Taliabu Emas

Ia menuturkan, proyek yang dapat dimanfaatkan untuk sekuritisasi aset saat ini, yaitu Proyek Jalan Tol Trans Jawa atau tol lainnya yang baru terbangun. Kemudian, proyek PLTU yang kemudian dananya untuk biayai proyek PLTU lainnya.

Pekerja menyelesaikan pengerjaan proyek pembangunan infrastruktur, di ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek, di Bekasi, Jawa Barat, Senin, 17 Desember 2018.

Kemudian, alternatif pembiayaan lainnya, lanjut David, yaitu pemanfaatan obligasi daerah. Opsi ini dahulu sudah pernah digulirkan, namun belum banyak dimanfaatkan oleh sejumlah daerah untuk pembangunan.

Menurut dia, obligasi daerah ini bisa dimanfaatkan oleh daerah dengan keuangan yang bagus. Hal ini perlu dilakukan, mengingat di Amerika Serikat, obligasi daerah lebih banyak dicari investor ketimbang obligasi pemerintah pusat AS.  
 
Lalu, kata David , alternatif pembiayaan ketiga, lebih cocok untuk pembangunan Ibu Kota Negara. Di mana, pemerintah bisa melakukan Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).

Kerja sama itu, lanjut dia, dilakukan dengan cara bertukar konsesi properti atau tanah. Yaitu, swasta membangun gedung-gedung pemerintah di Ibu Kota Baru, tetapi mendapatkan konsesi pemanfaatan gedung pemerintah di Jakarta.

"Ini bisa saja dilakukan, mengingat dana bangun Ibu Kota dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tidak besar. Jadi tukaran saja, swasta bangun gedung di Ibu Kota Baru dan dapat pengelolaan gedung pemerintah di Jakarta," ujarnya.

"Dari sejumlah alternatif pembiayaan tersebut, tentunya dari sisi pemerintah harus lebih aktif lagi, sehingga semua dapat terwujud," tambahnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya