Qanun Jinayat di Aceh Dianggap Diskriminatif
- bbc
"Terbukti, dari tiga jenis pelanggaran yang paling banyak adalah pelanggaran khalwat ." jelas Irwan.
Seperti diketahui, Qanun Jinayat atau Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Aceh No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Pidana hanya mengatur 10 pidana utama, antara lain khamar (miras), maisir (judi), khalwat (pasangan bukan muhrim), ikhtilath (bermesraan/bercumbu), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, gadzaf (fitnah zina tanpa saksi minimal empat orang), liwath (gay) dan musahaqah (lesbian).
Kepada Dinas Syariat Islam Aceh, MK Alidar mengatakan tindak pidana korupsi tidak diatur dalam qanun karena ada hukum positif yang mengaturnya, yakni Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
"Untuk tindak pidana korupsi apa yang diatur Undang-Undang Tipikor berat hukumannya. Qanun kita selagi kita lihat sudah bisa diatur dalam undang-undang yang memang bisa representatif, kebutuhan kita terhadap qanun itu belum sangat signifikan karena ada hukum yang mengaturnya," ujar Alidar.
Dampak mendalam bagi perempuan
Sejak Qanun Jinayat diimplementasikan empat tahun lalu, eksekusi hukuman cambuk berdampak mendalam, terutama bagi perempuan.
Menurut Organisasi Perempuan Balai Syura Ureung Inong Aceh, banyak kasus salah tangkap, penyalahgunaan wewenang aparat dan tebang pilih dalam implementasi kebijakan ini.
Salah satu presidium Balai Syura Ureung Aceh, Rasyidah, menyebut pelaksanaan qanun jinayat selalu menyasar perempuan karena pengambil dan pelaksana kebijakan pada umumnya laki-laki dengan "perspektif yang tidak berpihak kepada perempuan".
"Kecenderungan untung menyasar perempuan adalah produk dari pemikiran bahwa standar moral adalah perempuan," ujarnya.
Rasyidah pula menyoroti pasal dalam qanun mengenai perkosaan yang penyelesaiannya cenderung melalui cambuk. Namun ternyata, setelah dikaji, hukuman itu tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban.