Qanun Jinayat di Aceh Dianggap Diskriminatif
![- CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP](https://thumb.viva.co.id/media/frontend/thumbs3/2019/12/17/5df8c963b13d3-chaideer-mahyuddin-afp_665_374.jpg)
- bbc
"Tapi baiknya, semoga kalau hukuman cambuk dilakukan di depan khalayak ramai, mudah-mudahan orang yang kena cambuk ada kesadaran supaya nggak melakukan lagi perkara-perkara yang nggak disukai Allah," ujarnya.
Qanun Jinayat `tak pandang bulu`
Pada akhir Oktober lalu, Mukhlis bin Muhammad, anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kabupaten Aceh Besar dicambuk sebanyak 28 kali di Banda Aceh karena melanggar ketentuan ikhtilat alias berduaan dengan seseorang yang bukan muhrim.
Ini untuk kali pertama sejak pemberlakuan hukuman cambuk di Aceh pada tahun 2005, seorang pemuka agama menjadi terpidana.
Menurut Ketua Satpol PP yang juga Ketua pengawas pelaksanaan syariat Islam Aceh, Wilayatul Hisbah Banda Aceh, Muhammad Hidayat, hukuman cambuk kepada ulama ini bukti bahwa penerapan qanun jinayat yang tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
"Hukum dibuat itu tidak pandang bulu, artinya siapa pun yang melanggar tetap kita akan lakukan proses, jadi tidak pilih-pilih bahwa dia PNS dia anggota apapun itu. Jadi siapa pun yang tertangkap dan terbukti itu akan kita lakukan proses, tetap kita akan tegakkan peraturan daerah," jelas Hidayat.
Sepanjang 2019, Polisi Syariat atau Wilayatul Hisbah kota Banda Aceh telah melakukan eksekusi hukuman cambuk terhadap 76 pelanggar qanun tentang hukum jinayat. Kasus paling dominan adalah perkara ikhtilat .
Tak lama setelah eksekusi dilaksanakan, Wakil Bupati Aceh Besar, Waled Husaini, mengatakan pemerintah setempat akan mengeluarkan Mukhlis dari kepengurusan MPU. Alasannya, kata dia, Mukhlis merusak citra ulama.
"Sudah ada keputusan MPU, kalau ada orang yang rusak moral, nggak boleh lagi sebagai pegawai MPU," ujar Waled.
"Tidak ada istilah `kebal hukum` untuk pelanggar hukum agama," tegasnya.