MA Diminta Cabut SK Nomor 73 Soal Advokat

Gedung Mahkamah Agung
Sumber :
  • ANTARA FOTO

VIVAnews - Pakar Hukum Tata Negara Fahri Bachmid mengungkap masalah yang merugikan organisasi advokat karena adanya Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73/KMA/HK.01/01/2015 terkait pengangkatan seorang advokat. Menurut Fahri, SK tersebut tidak ada keharusan hukum serta mandat undang-undang yang mendasari serta memerintahkannya.

KPK Buka-bukaan soal Pemeriksaan Eks Menkumham Yasonna Laoly terkait Kasus Harun Masiku

Dia menuturkan jika dilihat dari teori perundang-undangan, maka SK tersebut tidak ada legitimasi yuridisnya sama sekali. Apalagi, hanya diatur dalam bentuk surat administrasi biasa, sehingga sulit secara hukum untuk setiap orang ingin men-challenge ke pengadilan, dan tidak cukup tersedia kanal penyelesaian sebagai upaya “ajudikasi” ke pengadilan.

"Sejujurnya ini adalah sesuatu “beleeid” hukum yang kurang sehat dalam sebuah negara hukum yang demokratis," kata Fahri melalui keterangan tertulisnya, Selasa, 10 Desember 2019.

Terkuak, Ini Lokasi Suap Tiga Eks Hakim PN Surabaya Terkait Vonis Bebas Ronald Tannur

Fahri mengatakan SK MA Nomor 73 itu secara faktual merugikan Peradi sebagai “organ negara” yaitu dalam rumpun “independent state organ” yang juga melaksanakan fungsi negara, yang mana Peradi mempunyai delapan kewenangan sesuai Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

"Jadi itu yang harus dicabut oleh MA," ujarnya.

Kasus Harun Masiku, Yasonna Laoly Ngaku Dicecar KPK soal Permintaan Fatwa ke MA

Fahri menuturkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 sudah cukup mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat. Misalkan advokat dalam melakukan pendampingan, memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, pelayanan hukum kepada masyarakat, akses to justice kepada pencari keadilan. Menurutnya, semua itu bisa di atasi oleh Peradi.

"Secara organisatoris Peradi kan punya perangkat-perangkat itu sampai ke daerah-daerah, sampai ke pelosok-pelosok gitu," kata Fahri lagi.

Fahri melanjutkan SKMA No 73 yang dikeluarkan MA tersebut tidak memiliki bentuk hukum yang jelas. Ia bukan peraturan yang bersifat “regeling”. Menurutnya, SKMA No. 73 itu hanya “beleeid” hukum pimpinan Mahkamah Agung, sehingga menurut Fahri SKMA No.73 itu tidak memiliki daya ikat secara yuridis, dan tidak mempunyai implikasi hukum apapun dari segi muatan materi peraturan perundang-undangan.

Alasannya karena, ia tidak tergolong dalam hirarkis peraturan perundang-perundangan sebagaimana diatur UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan yang telah dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011.

“Jadi secara yuridis sebenarnya bermasalah SKMA No. 73 itu, sebab ia bukan bentuk hukum yang secara hirarkis disebutkan dalam UU RI No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga secara nyata-nyata bertentangan dengan norma UU RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Jadi itu yang barangkali harus direvisi," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya