Apakah Ini Masa Suram HAM dan Demokrasi Indonesia
- dw
Yang tersirat di dalam pikiran saya, betapa mahal ambisinya, setelah pemilu yang panas dan berdarah-darah, toh akhirnya Prabowo berkoalisi juga dengan pemerintah. Sedangkan kepada Jokowi, saya semakin ragu penyelesaian masalah HAM yang dulu dan yang terkini akan dia selesaikan, karena dia semakin mengikat diri dengan kelompok-kelompok oligarki di Indonesia.
Masuknya Prabowo dan Partai Gerindra ke kubu pemerintah mencerminkan semakin terbukanya Jokowi terhadap oligarki. Alih-alih "membersihkan” dirinya dari pengaruh kelompok-kelompok semacam itu, Jokowi mengambil risiko untuk membuat kabinetnya berada di jalur perebutan kepentingan elite.
Komposisi oligarki di dalam pemerintah Indonesia, sudah seharusnya membuat siapa pun yang berada di sisi kemanusiaan khawatir, karena sekarang mereka satu kubu. Penyelesaian persoalan-persoalan kemanusiaan akan semakin gelap jalannya, dan saya khawatir represi negara terhadap siapa pun yang berbeda pendapat akan semakin keras.
Sanggupkah Jokowi?
Negara ini akan menghadapi politik yang akan didominasi patronisme yang berlaku di partai-partai—di mana beberapa patron itu bergabung di dalam kabinet. Melihat peta itu, tentu muncul pertanyaan apakah Jokowi akan sanggup mengatasi pertarungan kepentingan di kabinetnya sendiri?
Persoalan HAM dan demokrasi tampaknya akan absen dari agenda Jokowi sampai lima tahun mendatang. Seperti terbaca di dalam pidato pelantikannya, Jokowi tak sekali pun menyebutkan persoalan kemanusiaan dan demokrasi. Fokusnya pada pembangunan ekonomi bisa dilihat memunculkan dua pertanyaan: apakah pembangunan ekonomi itu untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat? Ataukah pembangunan ekonomi hanya akan jadi kue besar yang dibagi-bagi di kalangan elite, sedangkan rakyat hanya mendapat remah-remahnya?
Kita juga bisa melihat susunan kabinetnya, yang mulai menunjukkan lebih banyak wajah dari kalangan militer di posisi-posisi yang membutuhkan pengalaman panjang di lapangan sipil. Menteri Kesehatan dan Menteri Agama pun diserahkan kepada kalangan militer. Sementara Menteri Dalam Negeri diberikan kepada seorang jenderal polisi. Susunan kabinet yang seperti ini mengingatkan saya pada susunan kabinet-kabinet di era Soeharto, di mana orang-orang militer masuk begitu dalam ke wilayah sipil.