Ketika 'Ekspresi Teologis' Bersinggungan dengan 'Nasionalisme Sempit'
- bbc
"Sejak awal tidak ada masalah, kami dapat rekomendasi dari kepercayaan saya," kata Herlina, seperti dikutip dari tempo.co.
Namun belakangan, ia tiba-tiba dipanggil pihak sekolah karena anaknya selalu enggan memberi hormat kepada bendera Merah Putih tiap kali upacara bendera.
Perempuan in mengungkapkan, menurut kepercayaannya memang tidak boleh hormat kepada bendera, yang dia anggap sebagai "penyembahan".
Namun, untuk menghormati bendera kebangsaan, anaknya mengambil sikap tegap tiap kali lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan.
"Jadi kalau hormat bendera, anak saya tegap," tutur Herlina.
Pendeta Gereja Komunitas Anugerah (GKA) Salemba, Suarbudaya Rahardian mengungkapkan keengganan umat Saksi Yehuwa mengambil sikap mengangkat tangan dalam menghormat kepada bendera karena itu dianggap sebagai simbol penyembahan.
Suarbudaya berkata, Alkitab Perjanjian Lama dan Baru menyebut mengangkat tangan dan bersujud itu hanya diberikan kepada Tuhan dan tidak boleh diberikan kepada mahkluk ciptaan.
"Hanya kepada Khalik saja itu boleh diberikan. Itu kan bagian dari ekspresi teologis menurut saya. Sama halnya seperti umat Muslim yang tidak menggambar figur-figur penting dalam agama. Itu bagian cara mereka dalam menghayati."
"Sayangnya, ekspresi teologis mereka bersinggungan dengan ekspresi nasionalisme yang sempit," ujar Suar.
Selama ini, kata dia, masyarakat Indonesia dicekoki dengan upacara bendera yang dilakukan setiap pekan, yang kemudian menjadi "cara menghormati Indonesia, bangsa dan negara".
"Tidak bisa ada ekspresi tunggal tentang nasionalisme yang dipaksakan. Kita gandrung terhadap negara dengan cara yang sempit, bagaimana kita dipaksa tunduk dengan apa yang disebut nasionalisme itu," kata dia.
Dengan nasionalisme sempit yang kini sedang berkembang, dia khawatir insiden yang terjadi terhadap dua siswa di Batam, bisa menimpa siapa saja. Dan menurutnya, hal ini "berbahaya jika dibiarkan".