Dua Bulan Usai Kerusuhan Wamena: Trauma dan Was-was Masih Menghantui
- bbc
"Sebenarnya sih masih banyak yang trauma, kalau ada apa sedikit, `ih, ada apa?`, langsung lari gitu, kan," ujarnya.
"Jadi ya mungkin ngantor juga enggak sampai jam 4. Biasanya kan sampai jam 4, (kalau sekarang) biasa paling cepat jam 3-an sudah mulai sepi lah kantor, karena mungkin masih penyesuaian juga kan, masih agak takut."
Menurutnya, rasa was-was itu tidak hanya dirasakan olehnya. Teman-teman sekantornya yang asli Papua, dan pada awalnya berdomisili di Wamena, pun sekarang lebih memilih untuk pulang ke distrik asal mereka di luar kota.
"Mereka malah banyak pulang ke kampung mereka, bukan tinggal di kota. (Mereka bilang) `Kita pulang ke kampung dulu ya`, `Kenapa pulang?`, `Tidak apa-apa, kita takut aja di Wamena`," tutur Vanessa.
Naufal Alamsyah, warga pendatang yang tiga tahun terakhir bekerja untuk sebuah BUMN di Wamena, menganggap masifnya keberadaan aparat TNI-Polri di semua sudut kota membuat warga, khususnya yang asli Papua, tidak nyaman.
"Ya ada perasaan terlindungi juga karena adanya mereka, tapi di sisi lain juga kadang kita ragu juga, jadi dengan adanya mereka ini jadinya tuh `mengundang`," tutur Naufal.
"Misalnya kita kerja lapangan, terus dikawal dengan mereka, dengan TNI-Polri, itu kalau saya rasa sih justru lebih mengundang ketidaknyamanan orang Papua sendiri."
Keluhan perihal masifnya aparat di Wamena juga diungkapkan Agusta Bunai yang asli Papua.
"Mungkin tujuannya untuk menjaga keamanan di kota, tapi kalau dengan jumlah yang banyak, kemudian (mereka) leluasa beraktivitas, dan kita lihat senjata di mana-mana, kadang kan kita ini — warga ini, `Aduh, (ada) apa lagi`, begitu," tutur Agusta.
Mengobati trauma
Rasa trauma akibat kerusuhan 23 September lalu membuat Naufal Alamsyah, warga pendatang di Wamena, sedikit menjaga jarak dengan warga Papua. Pasalnya, saat kerusuhan terjadi, Naufal dan rekan-rekan sekantornya menjadi target oknum perusuh.