Menhub Budi di DPR Ungkap 9 Penyebab Tragedi Lion PK-LQP Versi KNKT
- VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya
VIVA – Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, hadir dalam rapat kerja bersama dengan Komisi V DPR RI. Salah satu agendanya adalah mengevaluasi insiden jatuhnya pesawat Lion Air PK LQP pada Oktober 2018 lalu.Â
Dalam kesempatan tersebut Budi mengatakan, Â peristiwa ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi keselamatan transportasi di Indonesia.
"Musibah ini, tidak menimpa suatu pihak. Tetapi juga banyak pihak, menjadi duka dan pelajaran bagi kita, bagi negara menyikapi keselamatan transportasi," kata Budi di Ruang Rapat Komisi V, DPR RI, Senin 25 November 2019.
Budi menegaskan komitmen Kemenhub untuk meningkatkan keselamatan penerbangan nasional. Diharapkan musibah ini tak terjadi lagi di kemudian hari.
"Ini menjadi komitmen yang diberikan bagi kementerian perhubungan dalam meningkatkan keselamatan penerbangan di Indonesia," ujarnya
Dalam kesempatan ini, Budi juga memaparkan hasil akhir investigasi Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terkait jatuhnya pesawat. Ada sembilan faktor yang berkaitan dengan peristiwa jatuhnya Lion Air PK-LQP. Yaitu
1. Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meski pun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat
2. Mengacu asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di kokpit. Sensor tunggal yang diandalkan untuk Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.
3. Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan.
4. Pilot mengalami kesulitan melakukan respons yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya. Karena, tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.
5. Indikator AOA Disagree tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan. Sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.
6. AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya.
7. Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar. Sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
8. Informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-formal runaway stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat. Hal itu mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat.
9. Beberapa peringatan, berulangnya aktifasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja.Â
Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini.