Profesor Australia: Masyarakat Indonesia Susah Terima Perbedaan
- abc
Dua ideologi besar dianggap sedang bertarung di Indonesia saat ini, mereka adalah ideologi nasionalisme dan Islam, kata seorang Profesor Kajian Indonesia di Monash University. Dari keduanya, masing-masing memiliki elemen ekstrimis. Karenanya tak heran, masyarakat Indonesia terkesan khawatir terhadap perbedaan.
Berbicara di Jakarta (20/11/2019), Profesor Ariel Heryanto menyebut masyarakat Indonesia begitu takut terhadap kemajemukan, bahkan termasuk kelompok yang membawa slogan-slogan kemajemukan itu sendiri.
Ia mengatakan perbedaan tidak boleh dilawan dengan hukuman.
"Kalau mau melawan pikiran orang, ya dengan pikiran, jangan dihukum. Tapi kalau orang itu melakukan tindakan kriminal, silahkan diproses, bukan pikirannya yang disalahkan," utaranya kepada awak media selepas memberi kuliah umum di acara peringatan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Australia di Museum Nasional Jakarta Pusat, Selasa (20/11/2019) lalu.
"Mengapa begitu takut pada perbedaan? Itu salah, harusnya justru bersyukur ada perbedaan," imbuh Ariel.
Namun Profesor asal Indonesia di Monash University, Australia, ini memaklumi jika rezim penguasa terkesan tidak siap menerima perbedaan.
"Mengapa? Karena jadi lama, repot, bikin keputusan ini enggak setuju, itu enggak setuju. Kan orang jadi enggak sabar," kemukanya.
Belajar dari pengalaman Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 April lalu, masyarakat Indonesia seharusnya bisa lebih bersabar dalam menghadapi realita sosial.
"Kenapa sih harus buru-buru? Lebih lama sedikit enggak apa-apa. Contoh kecil aja lah, kalau kita mau agak vulgar ya, lihat tuh Pilpres."
"Berapa korbannya? Ternyata dua calonnya juga dansa-dansi bersama tuh. Jadi sebenarnya kalau anda mau bersabar sedikit, sebenarnya enggak masalah perbedaan itu," tegas Ariel.
Argumen lainnya, Prof Ariel mengatakan perbedaan terlihat mengancam terhadap orang yang berpikiran lemah, selain terhadap mereka yang berkuasa.
"Orang yang pikirannya lemah, dia takut dengan pemikiran lain yang berbeda, yang kuat. "Hilangkan itu, enggak bener itu". Salah, seharusnya yang lemah itu diperkuat."
"Tapi jangan larang orang yang berpikiran beda."
Direktur Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre ini tak memungkiri jika kekhawatiran terhadap kemajemukan juga ditemukan dalam kelompok yang mengusung slogan "NKRI harga mati".
"Dia juga anti-kemajemukan kalau begitu. Dia anti-kemajemukan dalam pengertian nomor satu, seakan-akan dia sudah benar sendiri."
"Seakan-akan dia sudah mewakili kemajemukan Indonesia. Indonesia itu ya dia-dia saja, padahal Indonesia itu macam-macam dan semuanya berhak," kata Ariel.
Menurut penulis buku State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging ini, pencegahan paham ekstrimisme tidak bisa dilakukan dengan pelarangan. Pihak yang berwenang harus menelusuri penyebab dari tindakan itu sendiri.
Ariel Heryanto dalam kuliah umumnya di Museum Nasional Jakarta (22/11/2019).
ABC; Nurina Savitri
"Orang mengatakan karena pikiran, saya enggak setuju. Kalau menurut saya masalah ketimpangan."
"Ketimpangan bisa dalam arti ekonomi, bisa dalam arti jenis kelamin. Pelecehan terhadap perempuan itu sangat serius loh di Indonesia, pelecehan terhadap agama-agama minoritas, itu sangat serius sekali. Jadi enggak cuma ekonomi."
"Kemudian mereka jadi korban sehingga frustasi. Enggak ada yang mewakili dan membela mereka," jelas Ariel.
Pentingnya pendidikan sejak dini
Dalam kesempatan yang sama, Ariel Heryanto juga menyampaikan bahwa ekstrimisme dan pemahaman tak lazim tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di Australia.
Perbedaannya, sebut Guru Besar di Monash University ini, pemahaman-pemahaman seperti itu tak mendapat tempat di Australia.
"Di Australia itu banyak pikiran yang aneh-aneh tapi enggak pernah laku. Kalau di sini (Indonesia) laku, kenapa?"
"Bagaimana cara menghadapi pikiran yang aneh-aneh? Ya saya jawab, letakkan sampah pada tempatnya. Titik. Jangan dilayani."
"Tapi kalau banyak yang melayani ya itu harus ditanya kenapa? apa ketimpangan ekonomi, seksual dan semacam itu?," paparnya.
Menanggapi ekstrimisme yang terjadi di negaranya, termasuk Islamophobia, Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan, mengatakan agama tak pernah menjadi persoalan.
Gary menekankan, di negara manapun, persoalan ekstremisme saat ini menjadi sebuah tantangan.
"Karena individu di masing-masing negara kita bisa menjadi ekstrimis."
"Kuncinya adalah pendidikan dari usia dini, sehingga orang bisa belajar soal toleransi dan penerimaan terhadap orang lain," ujarnya selepas kuliah umum Prof Ariel di Museum Nasional.
Di dalam sebuah negara dengan identitas multibudaya seperti Australia, sebut Gary, Pemerintah harus fokus untuk memastikan warganya benar-benar memahami tentang budaya tiap harinya dari usia belia.
"Australia sendiri punya aturan anti-diskriminasi, salah satu yang paling tegas di dunia. Tapi pada akhirnya, perilaku individu begitu sulit untuk diatur."
"Makanya kami berupaya keras mendidik anak-anak muda tentang penerimaan, toleransi dan multikulturalisme," jelas Dubes yang mulai bertugas di Indonesia tahun 2018 ini.
Simak berita-berita lainnya dari ABC Indonesia.