Profesor Australia: Masyarakat Indonesia Susah Terima Perbedaan
- abc
"Kenapa sih harus buru-buru? Lebih lama sedikit enggak apa-apa. Contoh kecil aja lah, kalau kita mau agak vulgar ya, lihat tuh Pilpres."
"Berapa korbannya? Ternyata dua calonnya juga dansa-dansi bersama tuh. Jadi sebenarnya kalau anda mau bersabar sedikit, sebenarnya enggak masalah perbedaan itu," tegas Ariel.
Argumen lainnya, Prof Ariel mengatakan perbedaan terlihat mengancam terhadap orang yang berpikiran lemah, selain terhadap mereka yang berkuasa.
"Orang yang pikirannya lemah, dia takut dengan pemikiran lain yang berbeda, yang kuat. "Hilangkan itu, enggak bener itu". Salah, seharusnya yang lemah itu diperkuat."
"Tapi jangan larang orang yang berpikiran beda."
Direktur Monash Herb Feith Indonesian Engagement Centre ini tak memungkiri jika kekhawatiran terhadap kemajemukan juga ditemukan dalam kelompok yang mengusung slogan "NKRI harga mati".
"Dia juga anti-kemajemukan kalau begitu. Dia anti-kemajemukan dalam pengertian nomor satu, seakan-akan dia sudah benar sendiri."
"Seakan-akan dia sudah mewakili kemajemukan Indonesia. Indonesia itu ya dia-dia saja, padahal Indonesia itu macam-macam dan semuanya berhak," kata Ariel.