Api dalam Sekam Konflik Aceh Singkil
- bbc
Salah satu klausul SKB yang ditetapkan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri tersebut menyebutkan bahwa pendirian tempat ibadah harus memiliki jemaat sebanyak 90 orang dan mendapat sedikitnya dukungan 60 orang masyarakat setempat.
Selain mengatur jumlah minimum jemaat dan dukungan masyarakat agar izin pembangunan gereja bisa diajukan, Qanun Aceh Nomor 4 Tahun 2016 mengharuskan pendirian tempat ibadah mendapat rekomendasi tertulis dari beberapa badan, mulai dari Keuchik (kepala desa), Imuem Mukim (kepala pemerintahan adat), Camat, Kepala Kantor Kementeran Agama, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB); serta surat keterangan status tanah dan rencana gambar bangunan.
"Dalam hati kecilku, itu terik juga, kenapa harus diturunkan ke kepala Mukim kembali, kenapa tidak diajukan sama bupati. Itu terik juga dalam hatiku. Hancur kami memang, hancur sehancur-hancurnya."
Penerapan qanun itu membuat umat Kristen di Aceh Singkil semakin pesimistis mereka akan dapat membangun gereja lagi.
Boas Tumangger, Ketua Forum Cinta Damai Aceh Singil (Forcidas) yang mengadvokasi warga Kristen di Aceh Singkil, mengungkapkan, qanun tentang pendirian tempat ibadah dianggap `menjerat umat` dan sebagai `bom waktu` karena acap kali digunakan untuk kepentingan politik.
`Api dalam sekam`
Empat tahun berselang rekonsiliasi untuk mendamaikan konflik belum mencapai titik temu. Sementara itu, kehidupan warga Kristen telah berubah drastis.
Lantaran tak lagi memiliki tempat ibadah, warga Kristen di Aceh Singkil kemudian mendirikan tenda-tenda yang disulap menjadi naungan mereka ketika menjalankan kebaktian.