Logo BBC

Seleksi CPNS Dinilai Tak Ramah Disabilitas, Transgender, dan Perempuan

Menteri Sosial Juliari Batubara (kedua kiri) melihat aktivitas penyandang tunanetra mengoperasikan komputer saat kunjungan kerja di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Mahatmiya di Tabanan, Bali, Jumat (15/11/2019). -
Menteri Sosial Juliari Batubara (kedua kiri) melihat aktivitas penyandang tunanetra mengoperasikan komputer saat kunjungan kerja di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Mahatmiya di Tabanan, Bali, Jumat (15/11/2019). -
Sumber :
  • bbc

Tahun ini pemerintah Indonesia membuka lowongan untuk 197.000 lebih PNS. Tapi proses perekrutan bagi penyandang disabilitas, transgender, dan perempuan, disebut diskriminatif dan memberatkan. Karena itu Ombudsman mendesak Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi merevisi berbagai persyaratan itu.

Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) mengadukan hampir seluruh kementerian ke Ombudsman RI terkait proses perekrutan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2019. Sebab kata Ketua PPDI, Mahmud Fasa, persyaratan yang tercantum dalam kriteria pelamar disabilitas memberatkan.

"Jadi ini membingungkan kita. Di satu sisi katanya membuka seluas-luasnya untuk disabilitas, tapi syaratnya membatasi kami," ujar Mahmud Fasa kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pada lembar Seleksi Penerimaan CPNS di hampir semua kementerian mencantumkan empat jalur masuk: umum, cumlaude, disabilitas, dan putra/putri Papua.

Untuk yang umum syaratnya seperti status kewarganegaraan, usia, jenjang pendidikan, tidak pernah melakukan tindak pidana, tidak pernah menjadi pengurus partai politik, dan sehat jasmani-rohani.

Sementara jalur disabilitas kriterianya, mampu melihat, mendengar, dan berbicara dengan baik. Lantas mampu melakukan tugas seperti menganalisa, menyampaikan buah pikiran, mengetik, dan berdiskusi. Serta mampu berjalan dengan atau tanpa menggunakan alat bantu selain kursi roda.

Menurut Mahmud Fasa, persyaratan tersebut mustahil dipenuhi kelompok disabilitas tuli, buta, bisu, atau disabilitas daksa. Kalaupun terpenuhi, hanya ditujukan kepada disabilitas daksa dengan kondisi tertentu.

"Itupun cacat fisik ringan, jadi ini pilah-pilah. Padahal cacat fisik kan banyak, kalau di situ [persyaratan] terbatas atau ringan kondisinya, enggak yang parah," tukasnya.

"Makanya yang dibutuhkan apa? Kan sumber daya kan dan diuji. Kalau punya kemampuan dan lolos menempati posisi itu tapi dia enggak bisa jalan dengan baik, ya itulah kemampuannya, namanya juga disabilitas."

Syarat CPNS: bukan transgender, tidak bertato, tidak cacat mental, dan tidak dalam keadaan hamil

Selain menyasar kelompok disabilitas, beberapa lembaga dan kementerian juga mencantumkan sejumlah persyaratan lain. Di situs Rekrutmen CPNS Kejaksaan 2019, semua jabatan yang dibuka mengharuskan pelamar tidak buta warna, tidak cacat mental, tidak bertato dan bertindik, serta tidak `kelainan orientasi seks (transgender)`.

Sementara di Kementerian Pertahanan, ada syarat yang menyebutkan bagi pelamar perempuan tidak dalam keadaan hamil pada waktu melamar dan seleksi.

Begitu pula di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, CPNS perempuan dan pria disyaratkan tidak bertato atau memiliki bekas tato dan tidak ada tindik atau bekas tindik di anggota tubuh lain di telinga, kecuali yang disebabkan oleh ketentuan agama atau adat.

Sekretaris Jenderal Kemendikbud, Didik Suhardi, mengakui tidak semua penyandang disabilitas bisa masuk ke kementeriannya. Itu mengapa pihaknya menyusun kriteria yang sangat rinci.

"Jangan sampai pas kerja itu kemudian mengalami hambatan," ujar Didik Suhardi kepada BBC.

Namun begitu Kemendikbud, katanya, terbuka pada disabilitas tuli maupun daksa kendati ia tak tahu pasti berapa jumlahnya.

Sementara terkait persyaratan CPNS 2019 yang dianggap memberatkan kelompok disabilitas, Didik berjanji akan merevisi.

Di lembar CPNS Kemendikbud 2019, tertulis kriteria bagi pelamar disabilitas yakni mampu melihat, mendengar, dan berbicara dengan baik. Lalu mampu melakukan tugas seperti menganalisa, mengetik, berdiskusi. Kemudian mampu berjalan dengan atau tanpa menggunakan alat bantu.

"Kalau memang itu mengurangi hak mereka akan kita revisi," sambung Didik.

Alokasi 2% CPNS disabilitas

Juru bicara Badan Kepegawaian Negara (BKN), Paryono, mengatakan pihaknya tidak terlibat dalam penyusunan persyaratan CPNS. Hal itu diserahkan kepada instansi masing-masing sesuai kebutuhan yang diinginkan.

"Syarat itu bukan BKN yang membuat. Tapi instansi yang membuat persyaratan karena yang tahu kualifikasi dan persyaratan instansi.

"Jadi instansi membuat sesuai syarat dengan jabatan. Misalnya kalau guru kan berarti dia harus bisa bicara, mendengar. Jadi disabilitas enggak bisa mendaftar jadi guru."

BKN, katanya, hanya menjaga agar tiap-tiap kementerian atau lembaga mematuhi aturan yang harus mengalokasikan dua persen dari jumlah pelamar CPNS, untuk penyandang disabilitas. Itu sesuai Undang-Undang tentang Penyandang Disabilitas yang disahkan pada 2016 silam. Jika tidak, akan dikenakan sanksi.

"Tapi itu tergantung, kalau enggak ada yang daftar, ya enggak bisa [kena sanksi]. Kemudian ada yang tidak lolos, jadi dilihat dulu kasusnya. Kalau tidak dialokasikan bisa ditegur," ujar Paryono.

Kendati demikian, BKN tidak memiliki data berapa banyak PNS disabilitas yang berada di lembaga pemerintah saat ini. Sebab penerimaan PNS disabilitas baru dibuka tahun lalu.

Untuk tahun ini, BKN mengumumkan setidaknya dibutuhkan 197.111 pegawai negeri sipil.

Pemerintah ` harus revisi persyaratan diskriminatif `

Melihat persoalan ini, anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, menyebut pemerintah tidak belajar dari kasus drg Romi dari Kabupaten Solok Selatan. Semestinya, kata dia, pemerintah pusat maupun daerah menghapus persyaratan atau kriteria yang diskriminatif.

Dalam problem kelompok disabilitas, menurutnya, tidak boleh ada perbedaan bagi pelamar CPNS. Justru yang harus diterapkan, pemerintah melakukan kebijakan afirmatif.

"Misalnya pelamar CPNS baik yang disabilitas maupun tidak, mempunyai nilai yang sama, kepandaian yang sama, tapi disabilitas itu jadi pertimbangan untuk didahulukan. Tujuannya memberikan kesempatan kepada teman-teman disabilitas dalam jumlah tertentu," jelas Ninik Rahayu.

"Mereka warga negara, sumber dayanya sangat diperlukan dan punya hak yang sama."

Ia juga mengkritisi syarat transgender hingga perempuan tidak dalam keadaan hamil pada waktu melamar. Bagi Ninik Rahayu, hal itu melenceng dari amanat Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dan UUD 1945 Pasal 27 yang menegaskan kedudukan setiap orang sama.

"Undang-Undang tidak melarang yang begitu, jadi setiap orang memiliki peluang dalam mendapat pekerjaan. Kenapa lalu ditambahkan persyaratan yang sebetulnya di Undang-undang tidak mengatur soal itu."

"Kalau ditempatkan di medan perang, mungkin [perempuan hamil tidak boleh], tapi kalau kerja di kantor memang kenapa? Kan enggak apa-apa."

Untuk itu, Ombudsman akan segera bertemu dengan Kementerian PAN-RB untuk membahas soal ini. Di situ, pihaknya akan mendesak agar merevisi persyaratan yang diskriminatif.

Suara senada juga disampaikan Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) yang meminta agar persyaratan di jalur khusus bagi disabilitas dihilangkan agar mereka bisa bersaing tanpa dihambat.

"Cukup persyaratan umum yang penting punya kemampuan sesuai kriteria. Jadi kita diberi kebebasan," tukasnya.