Sebelum UU Baru, KPK Tangani 142 Kasus Korupsi di 2019
- ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menyatakan, sudah menangani sekitar 142 kasus korupsi di tingkat penyidikan sepanjang 2019, sampai sebelum UU KPK yang baru berlaku, 17 Oktober lalu.
Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan oleh lembaga antirasuah itu pada 16 Oktober 2019, yaitu terkait kasus Wali Kota Medan, Tengku Dzulmi Eldin dan sejumlah pihak lain yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) sehari sebelumnya.
"Terakhir, Sprindik yang kami lakukan sebelum 17 Oktober itu kasus OTT Medan. Jadi, sekitar ada 142 penyidikan yang dilakukan sebelum 17 Oktober (berlakunya UU baru)," ujar Juru Bicara KPK, Febri Diansyah kepada awak media, Senin 18 November 2019.
Meski begitu, sejak UU itu berlaku atau selama sebulan terakhir ini, KPK belum menangkap maupun menetapkan tersangka baru.
Jumat 15 November 2019, KPK memang mengumumkan penetapan tersangka terhadap GM Hyundai Enginering Construction (HDEC), Herry Jung dan Direktur Utama PT King Property, Sutikno atas kasus dugaan suap kepada mantan Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadisastra. Namun, sprindik terhadap keduanya diterbitkan tim KPK pada 14 Oktober 2019.
Febri menegaskan, KPK akan terus bekerja menindak dan mencegah rasuah. Sepanjang ditemukan bukti permulaan yang cukup, KPK tidak akan menunda penanganan sebuah kasus korupsi. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab KPK terhadap masyarakat yang sangat berharap Indonesia terbebas dari korupsi.
"Sebagai tanggung jawab kami kepada publik, maka KPK tetap harus berupaya sekuat mungkin melakukan penanganan korupsi dan juga pencegahan-pencegahan," kata Febri.
Hal ini, setidaknya ditunjukkan KPK dengan menuntaskan kasus-kasus lama yang menjadi pekerjaan rumah saat ini. Terutama, kasus yang tersangkanya telah ditahan karena ada batas waktu penahanan.
"Sekarang, sebenarnya kegiatan-kegiatan tim penindakan juga masih berjalan, khususnya untuk kasus-kasus lama yang sudah diproses, maka pemeriksaan saksi harus dilakukan. Kalau orang sudah ditahan kan ada batas waktu, sehingga kami juga punya kewajiban untuk melakukan proses penyidikan secara secara serius," ujarnya.
Belum adanya tersangka baru yang ditetapkan pascaUU baru berlaku memunculkan spekulasi, KPK saat ini sedang khawatir. Sebab, KPK menilai terdapat kesimpangsiuran dan multitafsir dalam UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK.
Febri mengakui, terdapat sejumlah tersangka dan terdakwa baik saat sidang praperadilan maupun sidang perkara pokok yang mulai menggunakan UU KPK baru untuk menguji proses hukum yang dilakukan institusinya.
Contohnya, Febri menyebutkan, adalah mantan Menpora Imam Nahrawi dan Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, bos PT Balipacific Pragama yang juga adik dari mantan Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.
"Banyak memang kesimpangsiuran pemahaman dan indikasi ketidakpastian hukum dalam UU 19 tahun 2019 ini. Ada pertentangan, salah satu pasal dengan pasal lain dan kalau itu diuji diproses persidangan, tentu KPK nanti akan melihat juga bagaimana pertimbangan hakim terkait dengan hal itu. Jadi, ada 26 poin yang kami identifikasi sebelumnya berisiko melemahkan kerja KPK," tambah Febri. (asp)