Memulihkan Noda di Laut Karawang
- Dokumentasi Pertamina.
VIVA – Tak ada gading yang tak retak. Pepatah itu tampaknya cocok untuk kinerja PT Pertamina di sektor hulu migas baru-baru ini. Meskipun sektor hulu migas dikenal punya prosedur keamanan tingkat tinggi, perusahaan migas nasional ini juga tak luput dari musibah.
Pada pertengahan 2019 lalu, terjadi insiden tumpahan minyak di sumur YYA-1 Blok Offshore North West Java (ONWJ) yang dikelola oleh PT Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ di perairan Karawang, Jawa Barat.
Peristiwa ini cukup membuat heboh dunia industri migas. Karena awalnya dikhawatirkan berpotensi serupa dengan peristiwa kebocoran minyak yang terjadi di laut Meksiko atau di anjungan Deepwater Horizon pada 2010. Peristiwa itu merupakan kebocoran minyak terbesar di lepas pantai sepanjang sejarah AS.
Namun, kekhawatiran itu tampaknya tak terjadi. Vice President Relations PHE, Ifki Sukarya mengatakan bahwa pihaknya telah berhasil menutup semburan minyak di anjungan YYA-1 pada 21 September 2019. Dia mengatakan, saat ini pihaknya terus memonitor untuk membersihkan lokasi terdampak, menyisir ceceran minyak yang tersisa.
"Namun Alhamdulillah relatif tidak ada lagi tumpahan minyak ke pantai. Kami tengah persiapan untuk masuk fase pemulihan ekosistem," kata Ifki kepada VIVAnews, ditulis Kamis 14 November 2029.
Hingga saat ini, anjungan YYA itu, masih pada posisi sebelumnya. Ifki mengatakan, pihaknya akan menyampaikan informasi terbaru jika sudah ada kajian penanganan lanjutan platform migas lepas pantai itu.
Di kepulauan seribu, PHE sendiri telah melakukan bersih-bersih pantai di Pulau Untung Jawa dan Pulau Lancang kepulauan seribu pada 25 Oktober 2019. Pantai itu sebelumnya juga terdampak tumpahan minyak itu.
Presiden Direktur PHE Meidawati mengatakan, PHE bersama masyarakat berkomitmen untuk melestarikan lingkungan dan kegiatan ini merupakan kick off fase pemulihan ekosistem.
"Kasus sumur YYA-1 sudah terjadi dan kita ambil pelajaran dan hikmahnya dari situ. Melalui kejadian itu kami bisa belajar dan hikmahnya bisa semakin dekat dengan masyarakat," kata Meidawati.
Saat awal-awal kejadian, Pelaksana Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Djoko Siswanto juga sempat mengungkapkan, potensi adanya kemungkinan terburuk seperti di Meksiko itu.
Dia mengakui ada potensi bahwa platform pengeboran atau rig di lapangan itu kemudian tenggelam seperti tragedi di anjungan Deepwater Horizon di teluk Meksiko yang dikelola British Petroleum.
"Kejadian buruknya bisa seperti itu (Deepwater Horizon)," ujar Djoko di Kementerian ESDM.
Selain harus menyelesaikan persoalan lingkungan dan tumpahan minyak (Oil spill), anak usaha Pertamina itu juga harus membayar kompensasi kepada warga terdampak. Pada tahap awal, PHE ONWJ telah memberikan kepada 10.271 warga terdampak tumpahan minyak sumur YYA-1 yang telah diverifikasi pada 11 September 2019.
Direktur Pengembangan PHE, Afif Saifudin mengatakan, total dana untuk pembayaran kompensasi tahap awal sebesar Rp18,54 miliar.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, insiden tersebut telah mengakibatkan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan yang besar.
"Insiden ini mestinya menjadi lesson-learned bagi Pertamina mengenai pentingnya upaya preventif," kata Fahmy kepada VIVAnews.
Padahal, berdasarkan catatannya, Blok ONWJ merupakan proyek strategis bernilai fantastis. Nilai kontrak rekayasa, pengadaan dan konstruksi (EPC) proyek ini mencapai sekitar US$50,7 juta, dengan kapasitas produksi gas di ONWJ mencapai 40 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau 0,7 juta barel minyak ekuivalen per hari (mboepd).
Proyek ONWJ ini juga merupakan salah satu dari 5 proyek migas yang beroperasi sejak 2018. Menurut SKK Migas, lapangan tersebut merupakan salah satu andalan untuk peningkatan produksi migas tahun 2019.