Menguak Tarian Mistis yang Nyaris Punah di Pulau Dewata

Ritual Tari Sanghyang Dedari yang sakral di Bali
Sumber :
  • VIVAnews/Zahrul Darmawan

VIVA – Alunan instrumen musik kendang, gamelan dan lantunan doa agama Hindu terdengar saling bersahutan di Pura Dalem, Desa Adat Geriana Kauh, Karangasel, Bali. Suasana tambah terasa khidmat karena rimbunnya hutan.

Video Klip Pemenang Grammy Karya Sutradara Asal RI Tuai Pujian

Wanginya aroma kemenyan yang berada di sejumlah sudut pura menyambut para penari cilik. Wajah polos para gadis itu terlihat penuh dengan riasan.

Di bagian atas kepala mereka ada mahkota yang dibuat dari rangkaian Bunga Gumitir, Bunga Cempaka, Bunga Kertas, Bunga Ratna, serta kulit jeruk jeruti yang dibentuk setengah lingkaran.

Cara RI Rayu Pengusaha Italia Dongkrak Bisnis dan Investasi

Sejumlah pecalang atau petugas keamanan desa terlihat cukup sigap mengatur empat penari cilik yang datang berbalut kain putih-kuning itu. Usai dibariskan, mereka kemudian duduk berkelompok di halaman dalam pura yang juga telah dijejali sejumlah warga desa.

Pada ritual ini, kaum ibu terlihat mengenakan pakaian kebaya. Sedangkan para pria muda serta dewasa dengan pakaian serba putih dan kain sarung khas Bali.

I Wayan Rindi, Maestro dan Pencipta Tari Pendet

Tak lama setelah semua warga berkumpul, pemangku (pemimpin agama) kemudian memulai upacara Ngusaba Goreng, ritual sakral yang masih dijalankan masyarakat Desa Adat Geriana Kauh, usai masa panen.

Setelah pemangku memulai upacara, para gadis berdiri berbaris dan berjalan lambat mengitari halaman dalam pura. Sambil berjalan perlahan dengan mata terpejam, para gadis cilik ini pun menari menirukan gerakan daun padi yang melengkung dengan mengibaskan selendang. Suara tabuhan gamelan dan nyanyian mengiringi mereka yang konon dilakukan tanpa sadar.

Ketua Desa Adat I Nyoman Subratha mengungkapkan, Tari Sanghyang Dedari adalah tarian sakral yang dipercaya warga setempat sebagai rangkaian penolak bala (buang sial). Tarian ini, sempat menghilang (tak dilestarikan) selama lebih dari 20 tahun. Nyoman dan warga desa percaya, hal itulah yang membuat panen mereka sempat selalu gagal.

“Iya tarian ini sempat tidak dilestarikan hampir 20 tahunan. Masyarakat sangat merasakan dampaknya, yakni gagal panen,” kata i Nyoman kepada wartawan termasuk VIVAnews di Desa Adat Geriana Kauh, Bali, Selasa 12 November 2019

Di desa ini, 99 persen warganya berprofesi sebagai petani. Mereka pun berupaya keras tidak menggunakan penyubur dan pupuk kimia yang diyakini dapat merusak lingkungan. Warga setempat telah berhenti menggunakan pestisida untuk mengusir hama sejak lebih dari 10 tahun terakhir.

I Nyoman Bratha menilai, penggunaan pestisida berdampak buruk terhadap keberlangsungan beberapa hewan yang hidup di sawah. Akibat penggunaan pestisida yang sempat massal pada tahun 1970-an hingga 1990-an, banyak hewan seperti lindung (belut), biawak, dan beberapa jenis serangga tidak lagi terlihat.

Mereka pun percaya, bahwa keseimbangan hidup antara manusia dan alam akan terganggu bila bertani dengan menggunakan pestisida, pupuk buatan, dan benih hasil rekayasa genetika terus digunakan.

Dampak dari kerusakan alam itu tidak hanya memukul sektor perekonomian warga, tapi lebih dari itu. Kehidupan sosial masyarakat pun terganggu, karena ritual-ritual terkait sawah menjadi berhenti dipraktikkan.

Belajar dari pengalaman gagal panen lebih dari satu dasawarsa terakhir itulah, warga Desa Adat Geriana Kauh pun berupaya keras menjaga cara hidup yang meninggikan keselarasan, di antaranya dengan mempertahankan sawah di tengah ancaman alih fungsi lahan dan melestarikan beberapa ritual penting, seperti Tari Rejang, Tari Sang Hyang Dedari, dan Tari Sang Hyang Jaran.

“Karena anjuran para tetua adat, akhirnya kami melestarikan tarian adat ini. Dan setelah itu tidak pernah ada lagi gagal panen, dan itu keyakinan kami,” katanya

I Nyoman Bratha menjelaskan, para penari Sanghyang Dedari adalah sejumlah anak perempuan yang belum akhil balik. Mereka berusia 8 hingga 10 tahun..

“Yang nari ini anak-anak perempuan yang belum menstruasi. Sebelum menari, diawali sembahyang keliling, dan mohon doa.”

Warga desa setempat percaya, tarian ini dilakukan para gadis cilik itu tanpa sadar. Mereka dirasuki oleh Sanghyang Dedari. Biasanya, tarian ini dilakukan enam orang sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur terhadap hasil panen yang melimpah.

“Doa itu agar Sanghyang Dedari bisa merasuk ke jiwa para penari. Gerakan Sanghyang Dedari mengikuti alunan lagu juru gending, alunan tangan mengikuti alunan gending. Bahkan kami pun orang-orang dewasa enggak mengerti karena itu ada dalam bahasa sansekerta (bahasa Jawa kuno).”

Dampak Gunung Agung

 Karena nilai dan eksistensinya yang telah ada cukup lama, tarian sakral itu akhirnya ditetapkan oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia pada 2015 lalu.

Saat ini, Desa Adat Geriana Kauh menjadi satu-satunya Desa di Bali yang secara konsisten menjalankan praktik ritual tari menyambut panen tersebut. Hal ini tidak terlepas dari kontribusi sejumlah dosen dari Fakultas Ilmi Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI).  

Tak hanya itu saja, dengan program Pengabdian Masyarakat atau (Pengmas) FIB UI, kemudian mendirikan museum seluas bangunan berkisar 100 meter persegi yang diberi nama Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha, di desa tersebut. Langkah ini didukung sepenuhnya atas antuasias masyarakat untuk mencegah punahnya tradisi ritual tarian panen di wilayah Bali.

“Diharapkan, pendirian museum berbasis komunitas yang diharapkan dapat menjadi wadah dokumentasi serta pelestarian Tari Sang Hyang Dedari, lontar dan kebudayaan lain bagi masyarakat setempat maupun turis lokal dan mancanaegara,” kata Dosen Filsafat FIB UI, Saraswati Putri.

Pendirian Museum telah dimulai pada 30 Oktober 2016 dan fisik museum telah tuntas diselesaikan pada akhir November 2018. Pengerjaan Museum sempat terhenti akibat diterpa bencana meletusnya Gunung Agung pada September 2017, lalu. Namun, bangunan tetap berdiri kokoh dan penataan interior serta diorama yang menampilkan Tarian Sang Hyang Dedari dan kebudayaan lainnya tetap dilanjutkan.

“Di tengah dinamika globalisasi yang menjadikan sebagian wajah Bali sebagai Kota Metropolitan, kami memiliki kekhawatiran bahwa Tarian Sang Hyang Dedari akan terancam punah,” Kata Saraswati.

Saraswati mengungkapkan, ia tim telah terjun langsung ke Desa Adat tersebut sejak tahun 2016, untuk memahami, berafeksi dan berinteraksi dengan masyarakat setempat.

“Kami melihat bahwa masyarakat Desa Adat Geriana Kauh menyadari akan pentingnya melestarikan warisan budaya leluhur mereka. Untuk itu, kami menggagas pendirian museum ini sehingga dapat menopang keberadaan Tari Sang Hyang Dedari.”

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya