'Perang Dingin' Roy Suryo vs Ruby Z Alamsyah
VIVAnews - 'Perang dingin' seperti sedang terjadi pada dua pakar informatika, Ruby Z Alamsyah dan Roy Suryo. Awalnya, Roy Suryo yang kerap disebut pakar telematika ini 'menyerang' peragaan cara membobol mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang dilakukan Ruby.
'Perang' antara Roy vs Ruby ternyata bukan kali ini saja terjadi dan terungkap di publik. Setidaknya ada dua 'perang yang terungkap antara Roy dan Ruby.'
Dua perang sebelumnya itu terjadi dalam dua persidangan yang menjadi pusat perhatian publik. Yakni kasus yang menjerat artis Marcella Zalianty dan kasus Prita Mulyasari.
Sedikit saja mengenai 'spesifikasi' Roy Suryo dan Ruby Z Alamsyah. Roy Suryo sering menjadi narasumber bidang teknologi informasi, fotografi, dan multimedia. Roy sering dijuluki sebagai pakar informatika, multimedia, dan telematika.
Roy Suryo menyelesaikan kuliah pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (1991-2001). Roy pernah sering meraih penghargaan dari lomba fotografi tingkat nasional serta penghargaan dari berbagai pihak, di antaranya dari Kadin bidang Telematika dan Majalah Trend Digital.
Bagaimana dengan Ruby Z Alamsyah? Sebagai konsultan teknologi informasi, Ruby merupakan Direktur di PT Jaringan Nusantara, perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi. Ruby menjadi anggota dari Asosiasi Investigasi Kejahatan Teknologi Tinggi Internasional (HTCIA).
Selama 10 tahun berpengalaman di keamanan teknologi informasi, Ruby dikenal aktif sebagai pembicara dan trainer untuk keamanan IT di Indonesia dan Asia. Dia meraih master bidang teknologi informasi dari Universitas Indonesia, serta pendidikan di Universitas Gunadarma. Dia memiliki keahlian sebagai digital forensik, saksi ahli, trainer keamanan IT, investigator swasta, serta pakar jaringan internet.
Berikut sekelumit 'perang dingin' Roy Suryo dan Ruby Alamsyah.
1. Sidang kasus Marcella Zalianty, PN Jakarta Pusat, 20 April 2009:
Roy Suryo:
Dengan program recovery, Roy mengklaim berhasil memunculkan kembali dan menganalisis sembilan foto dengan gambar Agung Setiawan tanpa busana, serta 10 pesan pesan singkat yang salah satunya diduga dikirim oleh Marcella dari telepon genggam Mohammad Hariyanto, salah seorang karyawan Marcella.
Ruby Z Alamsyah:
Menurut Ruby, yang telah dipaparkan oleh Roy tidak valid dan tak berkualitas sebagai barang bukti. "Menurut standar internasional, kloning itu harus dilakukan di depan pemilik handphone, Mohammad Hariyanto (karyawan Marcella)."
"Setelah itu, disepakati melalui digital finger print. Kemudian, baru ditandatangani oleh kedua pihak—analis dan pemilik HP—dan diberikan kepada digital forensic analyst untuk dianalisa karena, kalau tidak begitu, rentan dengan penyimpangan."
Kata Ruby lagi, ketika Roy mengulik data tersebut, cuma ada Roy dan Kapolres. "Dia (Roy) juga bikin statement (mengenai hasil analisisnya) dan nunjukkin (hasil analisisnya) ke wartawan. Itu menyalahi kode etik," ujarnya.
2. Sidang kasus Prita Mulyasari di PN Tangerang, 21 Oktober 2009
Roy Suryo:
Roy yang menyebut bahwa email Prita identik dengan barang bukti di persidangan. Roy menilai email tentang RS Omni yang dikirim Prita kepada 20 alamat email rekannya sebagai hal tak wajar.
Prita dinilai sengaja memiliki niat untuk menyebarkan emailnya ke khalayak luas. "Itu (mengirim email ke 20 alamat) bukan suatu yang wajar. Apa tujuannya kalau bukan untuk disebarkan," kata Roy.
Roy menambahkan, email yang dikirim Prita itu juga dikirim dengan standar dan kapasitas yang sama melalui menu 'To' bukan 'Cc'. "Kalau dikirimnya pakai 'Cc', secara etika penerima tak boleh memforward, tapi ini lewat 'To' semua," ujar Roy.
Niat Prita menyebarluaskan email, kata Roy, juga tercermin dalam redaksional di paragraf akhir tulisannya. "Dalam email ada niat dari Prita agar emailnya tersebar, terbukti dari tiga paragraf terakhir yaitu 'Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembacanya adalah karyawan atau dokter atau manajemen RS Omni'," kata Roy
Ruby Alamsyah:
Ruby mengatakan, email yang menjadi barang bukti di persidangan kasus pencemaran nama baik terhadap Rumah Sakit Omni Alam Sutera itu tidak valid. "Karena barang bukti digital sangat rentan dipalsukan."
Salinan email yang dijadikan barang bukti di persidangan bukan kiriman langsung dari Prita. Email itu diduga hasil kiriman ulang oleh orang ke sekian dengan alamat akun email bensanti@gmail.com.
Ia bahkan menuding saksi ahli yang mengatakan email yang menjadi barang bukti di persidangan sama dengan email asli Prita sebagai orang tak paham teknologi.
Menurut Ruby, email asli Prita diperlukan untuk pembuktian digital sesuai standar internasional. "Jadi harus ada digital forensik, harus ada sidik jari digital, harus dilacak dari komputer pertama di mana email itu dikirim".
ismoko.widjaya@vivanews.com