Logo ABC

Pemekaran Baru di Papua Dianggap Transaksi Politik Para Elit

Presiden Jokowi saat meninjau Jembatan Youtefa di Papua beberapa waktu lalu.
Presiden Jokowi saat meninjau Jembatan Youtefa di Papua beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • abc

Datang dari atas

Pengamat Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengingatkan jika merujuk Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, pemekaran di provinsi paling timur tersebut harus memperoleh persetujuan dari Majelis Rakyat Papua.

"Nah karena itu, kalau pemekaran ini kemudian datangnya dari atas, tidak melalui DPRP (Dewan Perwakilan Rakyat Papua), tidak melalui Gubernur dan tidak melalui MRP, itu hanya akan menambah masalah baru," utaranya.

Masalah itu disebutnya sebagai menambah daftar panjang ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap Pemerintah Indonesia. Lebih parahnya lagi, kata Cahyo, pemekaran tak akan menyelesaikan konflik yang selama ini terjadi di Papua.

"Jadi pemekaran itu untuk menyelesaikan persoalan yang mana? Itu harus dilihat dan pemekaran yang tidak memenuhi prosedur yang tepat."

"Pemekaran yang tidak berasal dari aspirasi mainstream (arus utama) orang Papua, itu hanya cenderung memenuhi kebutuhan elit politik lokal yang menuntut pemekaran," ujarnya kepada ABC.

Cahyo menjabarkan jika akar persoalan di Provinsi itu adalah kegagalan pembangunan atau pelayanan publik yang tidak efektif, semestinya hal itu bisa diperbaiki.

"Bagaimana Pemerintah Pusat bisa memastikan Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah kabupaten-kabupaten di bawahnya untuk meningkatkan akses masyarakat ke layanan publik bukan dengan menambah jumlah provinsi."

Ia kembali menekankan bahwa pemekaran bukanlah aspirasi masyarakat akar rumput di Papua tetai lebih terdorong oleh kepentingan politik.