Jokowi Disarankan Bentuk Lembaga Urusan Legislasi

Sidang kabinet paripurna di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVAnews - Presiden Jokowi dinilai perlu membentuk kementerian atau lembaga urusan legislasi nasional. Fungsinya untuk mengurus dan mengelola urusan regulasi, mulai dari tahap perencanaan, penyusunan peraturan perundang-undangan, pembahasan, pengundangan, penyebarluasan, evaluasi hingga peninjauan dan rekomendasi perbaikan atau revisi, sehingga tidak terjadi tumpah tindih peraturan perundang-undangan secara nasional.

Tom Lembong Resmi Ajukan Praperadilan ke PN Jaksel, Minta Dibebaskan dari Tahanan

"Untuk itu menjadi penting dan urgent untuk membuat terobosan hukum tata negara dengan melahirkan sebuah kementerian atau lembaga khusus yang menangani permasalahan tersebut," kata pakar Hukum Tata Negara, Fahri Bachmid, melalui keterangan persnya, Minggu, 27 Oktober 2019.

Fahri menuturkan, lembaga itu nantinya diberikan mandat konstitusional penanganan urusan pembangunan hukum (legislasi) mulai dari hulu sampai ke hilir, yaitu mulai dari tahap perencanaan, penyusunan, perumusan, harmonisasi, sosialisasi, konsolidasi hingga peninjauan serta revisi terhadap perundang-undangan yang berlaku secara positivistik.

Menkum Supratman: Dulu Kemenkumham Itu Kementerian yang Sangat Gemuk

Menurutnya, praktik yang sama dilakukan oleh beberapa negara seperti The Office Information and Regulatory Affairs (OIRA) di Amerika Serikat; The Office of Best Practice Regulation (OBPR) di Inggris; Cabinet Legislation Bureau (CLB) di Jepang; Ministry of Government Legislation (MoLeg) pada Korea Selatan, serta The Office of Best Practice Regulation di Australia.

"Gagasan pembentukan lembaga legislasi ini pada tahun 2012 pernah di rekomendir oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) sepanjang berkaitan dengan pembenahan komprehensif peta regulasi di Indonesia. Artinya atensi dan gagasan pembenahan problem regulasi secara hukum telah didebatkan sejak lama," kata Fahri.

Akademisi Antikorupsi Ikut Bersuara Bebaskan Mardani Maming

Fahri mengatakan, problem hukum inkonsistensi dan disharmoni peraturan perundang-undangan bukan saja dalam konteks materiil (substansi materi hukum) yang sangat “complicated” semata, tetapi dari aspek birokrasi pembentukan perundang-undangan telah menjadi masalah tersendiri, seperti banyaknya pintu yaitu melalui Kemenkum HAM, mensesneg, Seskab dan juga DPR melalui Baleg dan sebagainya yang semuanya berurusan dengan legislasi sehingga secara teknis ketatanegaraan, sangat sulit untuk dapat mengendalikan obesitas dan hiper regulasi secara sistemik sesuai logika dan ilmu perundang undangan.

"Karena setiap lembaga berlomba membentuk perundang-undangan, seolah setiap persoalan bangsa hanya dapat diatasi dengan memproduksi UU, tanpa melihat hasil guna dan berdaya guna. Ini yang menjadi masalah," katanya.

Jika lembaga itu nantinya tersebut terbentuk, lanjut dia, diharapkan akan menjadi “leading sector” terhadap semua kementerian dan lembaga negara terkait yang berhubungan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan. Dan pada saat yang sama maka presiden dapat membubarkan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada Kemenkum HAM.

Kemudian, sesuai perintah UU No. 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, maka pemerintah dan DPR segera mengagendakan melakukan revisi atas UU RI No. 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, khususnya termasuk ketentuan pasal 5 ayat (4) mengenai uraian tentang urusan pemerintahan negara, agar ditambah termasuk meliputi urusan legislasi nasional, serta pasal 15 yang menyebutkan bahwa jumlah keseluruhan kementerian sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, pasal 13, dan pasal 14 paling banyak 34.

Belum lama ini, Presiden Joko Widodo meminta seluruh menteri Kabinet Indonesia Maju, tidak hanya bekerja sesuai tupoksi masing-masing. Tetapi, juga diminta mencari berbagai peraturan yang menghambat investasi.

Ia menegaskan, masih banyak peraturan baik itu undang-undang, keputusan presiden, peraturan menteri, yang justru menghambat laju investasi.

Ia juga mengingatkan mendagri, untuk kembali melihat berbagai aturan di daerah apakah itu peraturan gubernur, hingga peraturan bupati/wali kota, jika ada yang tidak sesuai agar bisa diselaraskan dengan aturan pemerintah pusat.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya