Jadi Menhan, Prabowo Dapat Anggaran Rp127,4 Triliun di APBN 2020

Ketum Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo saat mendatangi Istana usai temui Jokowi
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Dalam bursa menteri di kabinet Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Prabowo Subianto disebut-sebut telah diminta langsung oleh Jokowi, untuk menduduki jabatan sebagai Menteri Pertahanan di periode 2019-2024.

Hebat, Pensiunan Letkol Sukses Besarkan 2 Anak Jadi Jenderal Pasukan Elit TNI

Tak tanggung-tanggung, Prabowo nantinya akan memimpin kementerian dengan anggaran paling besar dibanding pos kementerian lainnya, karena Kementerian Pertahanan mendapat alokasi anggaran hingga mencapai Rp127,4 triliun dalam APBN 2020.

Menanggapi hal tersebut, Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris menilai, besarnya anggaran Kemenhan itu, tentunya sudah melalui sejumlah perhitungan matang terkait alokasi pendanaannya.

Wakil Mendagri: Sistem Politik atau Sistem Pemilu Indonesia Boros

"Karena kan (penganggaran Kemenhan) bukan hanya untuk pengadaan alutsista (alat utama sistem pertahanan) saja, tetapi juga untuk aspek pemeliharaan yang biayanya itu memang sangat besar," kata Syamsuddin di kawasan Raden Saleh, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa 22 Oktober 2019.

Tak hanya soal alutsista, Syamsuddin juga menjelaskan bahwa tupoksi utama Kemenhan dalam upaya menjaga luasnya seluruh wilayah teritorial RI, memang membutuhkan anggaran yang besar. Maka, menurutnya, hal itu merupakan sesuatu yang wajar.

Wapres Gibran Sebut Kunci di Kabinet Merah Putih Ada di Muhammadiyah

Syamsuddin menduga, alasan Jokowi merangkul Prabowo bukan hanya ingin memperluas koalisi dan menambah segmen pendukung pemerintahannya nanti, sekaligus memperkecil oposisi.

"Jadi, bukan hanya dari segmen koalisi pendukung saja, tetapi juga dari segmen oposisi," kata Syamsuddin.

Selain itu, dia juga melihat bahwa pemahaman Jokowi terkait soal rekonsiliasi politik, ternyata juga menyangkut ke dalam konteks pembagian kekuasaan.

"Walaupun menurut saya, semestinya tidak begitu. Karena, rekonsiliasi politik itu tidak ada hubungannya dengan pembagian kekuasaan. Tetapi, mengajak semua pihak saling bekerja sama untuk memajukan bangsa," kata Syamsuddin.

"Jadi, saya sampai sekarang tetap berpendapat, sebaiknya kalau ada pihak yang kalah dalam pemilu itu, ya harus legowo jadi oposisi," tambahnya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya