Jangan Sampai Indonesia Terjerembab Krisis Stunting dan Obesitas Anak
- ANTARA FOTO/Rahmad
VIVA – Di tengah era globalisasi ini, kalangan pakar telah berkali-kali mengutarakan bahwa potensi ancaman-ancaman tradisional - seperti invasi militer ataupun penjajahan fisik dari negara asing - cenderung berkurang. Sebaliknya, ancaman-ancaman non-tradisional di era zaman now justru berpotensi meningkat di banyak negara, termasuk Indonesia.
Ancaman-ancaman non-tradisional itu beragam dan kompleks - mulai dari dominasi ekonomi pihak asing, aksi terorisme, kejahatan lintas-negara, serangan siber, hingga kekurangan gizi. Walau sering dipandang sebagai masalah bagi negara-negara miskin, kekurangan gizi itu ironisnya justru masih saja mengancam sejumlah negara yang sedang siap lepas landas dari kelompok negara berkembang menuju lingkaran elit dunia, salah satunya Indonesia.
Stunting dan obesitas merupakan dua contoh masalah kekurangan gizi, yang sebenarnya tidak melulu akibat tiadanya atau kekurangan bahan pangan, namun juga karena pola makan yang tidak sehat. Celakanya, dua hal itu yang bisa mengancam anak-anak Indonesia saat ini.
Seperti yang diutarakan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa hari lalu, saat memimpin rapat kabinet pada saat-saat akhir jelang pensiun sebagai Wapres. Untuk masalah stunting pada anak-anak, JK tidak mau pemerintah anggap remeh dan meminta meminta seluruh kementerian maupun lembaga yang terkait bergerak cepat melakukan berbagai inisiatif dan inovasi dalam upaya penanganan dan pencegahan stunting.
Bagi JK, dampak dari stunting sangat besar, karena menyangkut pembangunan, harga diri, dan martabat bangsa. Merujuk pada studi dari Bank Dunia, JK mengingatkan jika stunting tidak diatasi, siap-siap negara harus menanggung kerugian 2-3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Bisa dibayangkan dahsyatnya dampak stunting bagi Indonesia. Kerugian tersebut mencakup biaya untuk mengatasi stunting dan hilangnya potensi pendapatan akibat rendahnya produktivitas anak yang tumbuh dengan kondisi stunting," kata JK saat memimpin rapat koordinasi penanganan anak kerdil atau stunting di kantornya, 14 Oktober 2019 lalu.
FAO, organisasi bentukan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani urusan Pangan dan Pertanian, juga mengutarakan permasalahan. Menurut Kepala Perwakilannya di Jakarta, Stephen Rudgard, stunting dan obesitas pada anak bisa membawa ancaman serius bagi masa depan generasi muda Indonesia.
Dia pun menyajikan sejumlah data yang tidak boleh diabaikan. Di Indonesia, 30,8% anak tergolong stunting (kekerdilan), 10,2% anak-anak di bawah lima tahun kurus dan 8% mengalami obesitas (kegemukan)," ungkap Rudgard dalam pernyataan tertulis kepada VIVAnews.
Rudgard menyampaikan hal ini dalam rangka memperingati Hari Pangan se-Dunia, yang jatuh setiap tanggal 16 Oktober atau tepat pada hari lahir FAO. Peringatan ini diadakan di lebih 150 negara yang menyatukan pemerintah, sektor bisnis, LSM, media, serta komunitas sekaligus menyerukan aksi untuk mencapai SDG2-Zero Hunger.
"Tindakan kita adalah masa depan kita. Pola Pangan sehat, untuk #Zerohunger 2030. Itu adalah tema global Hari Pangan se-Dunia tahun ini," ungkap Rudgard.
Bagi dia, mencapai target “Tanpa Kelaparan” (Zero Hunger) tidak hanya tentang mengatasi kelaparan, tetapi juga memelihara kesehatan manusia dan bumi. Rudgard pun mengingatkan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, secara dramatis masyarakat di dunia telah mengubah pola pangan sebagai akibat dari globalisasi, urbanisasi, dan bertambahnya pendapatan.
Banyak warga telah beralih dari pangan musiman, terutama produk nabati yang kaya serat, pada makanan yang kaya akan pati, gula, lemak, garam, makanan olahan, daging, dan produk hewani lainnya. Waktu yang dihabiskan untuk menyiapkan makanan di rumah semakin sempit. Konsumen, terutama di daerah perkotaan, semakin bergantung pada supermarket, gerai makanan cepat saji, makanan kaki lima dan makanan pesan antar.
Kombinasi dari pola pangan yang tidak sehat serta gaya hidup yang kurang aktif pada akhirnya menjadi faktor risiko pembunuh nomor satu di dunia. Kebiasaan ini telah membuat angka obesitas melonjak, tidak hanya di negara maju, tetapi juga di negara-negara berpendapatan rendah, di mana kekurangan dan kelebihan gizi sering terjadi bersamaan.
"Saat ini, lebih dari 670 juta orang dewasa dan 120 juta anak perempuan dan laki-laki (5–19 tahun) mengalami obesitas, dan lebih dari 40 juta anak balita kelebihan berat badan, sementara lebih dari 800 juta orang menderita kelaparan," lanjut Rudgard.
Respons Indonesia
Lalu, apakah Indonesia hanya berpangku tangan menghadapi ancaman ini? Jangan sampai sikap itu terjadi. Wapres JK mengakui stunting akibat kekurangan gizi kronis masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia.
Untuk itu dia mengingatkan komitmen enam kementerian untuk bersama-sama mengoptimalkan pemantauan dan percepatan pencegahan stunting. Enam kementerian itu yakni Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri.
Pemerintah juga telah menetapkan sebanyak 160 kabupaten/kota prioritas penanganan stunting yang dipilih berdasarkan tingginya angka prevalensi stunting di daerah tersebut. Jumlah tersebut rencananya terus ditambah menjadi 260 kabupaten pada 2020.
Sementara itu, Kementerian Pertanian juga menunjukkan komitmen dalam mengantisipasi ancaman stunting. Kuntoro Boga, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian, mengungkapkan bahwa Kementan memberikan perhatian khusus soal ini dengan sebuah program. "Ini bernama Obor Pangan Lestari (Opal) untuk mendorong pemenuhan kebutuhan pangan nasional pada skala terkecil rumah tangga," kata Kuntoro.
Itu sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah stunting yang terjadi di Indonesia. Opal juga dirancang untuk meningkatkan kualitas konsumsi masyarakat, meningkatkan pendapatan rumah tangga, meningkatkan akses pangan keluarga, konservasi sumberdaya genetik lokal dan mengurangi jejak karbon serta emisi gas pencemar udara.
Selain itu, pola pangan sehat harus bisa pula diakses semua warga. Ini adalah pola pangan yang memenuhi kebutuhan gizi individu dengan menyediakan makanan yang cukup, aman, bergizi, dan beragam untuk menjalani kehidupan yang aktif dan mengurangi risiko penyakit.
Pola pangan ini termasuk, antara lain, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, biji-bijian, dan makanan yang rendah lemak (terutama lemak jenuh), gula dan garam. Makanan bergizi yang merupakan pola pangan sehat hampir tidak tersedia atau terjangkau bagi banyak orang.
Hampir satu dari tiga orang mengalami kekurangan atau kelebihan gizi. Berita baiknya adalah ada solusi yang terjangkau untuk mengurangi semua bentuk kekurangan dan kelebihan gizi tersebut, tetapi hal ini membutuhkan komitmen dan tindakan global yang lebih besar.
“Program Opal memiliki kerangka jangka panjang untuk meningkatkan penyediaan sumber pangan keluarga yang Beragam, Seimbang dan Aman (B2SA),” ujar Kuntoro.
Sementara itu, Opal dirancang sebagai salah satu langkah kongkrit pemerintah dalam mengintensifkan peta ketahanan dan kerentanan pangan atau food security and vulnerability atlas (SFVA). FAO dengan badan-badan PBB lainnya dan kementerian terkait akan merayakan Hari Pangan Sedunia dalam serangkaian acara termasuk perayaan nasional di Kendari, Sulawesi Tenggara yang dipimpin oleh Kementerian Pertanian dan Pemerintah Sulawesi Tenggara pada 2-5 November dan Festival Kaki Lima Jakarta "Pangan Sehat, siap santap"pada 10 November.
Tema Nasional di Indonesia sendiri mengusung Teknologi Industri Pertanian dan Pangan Menuju Indonesia Lumbung Pangan Dunia 2045.