Peluang Perppu KPK Tipis, Judicial Review ke MK Jadi Solusi

Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi - KPK di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Polemik Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah direvisi masih jadi perhatian karena Presiden Jokowi belum juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Sementara, hanya tersisa satu hari lagi menanti Jokowi menerbitkan Perpu KPK atau tidak.

Integritas Firli Bahuri dan Komitmen Penegakan Hukum Irjen Karyoto

Ahli hukum administrasi negara, Jemmy Pieterz, menilai baik perppu dan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) masing-masing memiliki konsekuensi. Selain itu, dua opsi ini juga mesti menyesuaikan prosedur hukum administratifnya.

"Andaikan pilihannya dikeluarkan perppu maka harus bisa dipastikan terpenuhi kondisi hal ihwal kegentingan sesuai Pasal 22 ayat (1) UUD 1945," kata Jemmy, dalam keterangannya, Selasa, 15 Oktober 2019.

KPK Periksa Keponakan Surya Paloh

Dia pun menjelaskan untuk judicial review ke MK merupakan langkah konstitusional. Namun, judicial review ini juga mesti dicari untuk titik pasal yang akan diuji. Sebab, 9 hakim konstitusi akan melihat dari kekuatan penjelasan permohonan pengujian yang diajukan.

"Sebaiknya uji materil terhadap revisi UU KPK namun dengan catatan harus dicari titik uji berdasarkan UUD 45," jelas dosen Universitas Pattimura tersebut.

KPK Setor Uang ke Kas Negara Rp1,1 Miliar dari Eks Pejabat Muara Enim

Menurutnya, terkait perppu bila Jokowi menerbitkan perppu, maka itu pun mesti diajukan lagi ke DPR untuk dibahas menjadi suatu Rancangan Undang-undang (RUU). Terkait hal itu, yang dikhawatirkan bila perppu dibahas namun hasilnya ditolak DPR.

"Pertanyaan kritisnya jika setelah perppu diajukan dan dibahas DPR. Kemudian DPR menolak perppu tersebut maka apa yang menjadi langkah tuntutan selanjutnya. Masak demo lagi?" ujarnya.

Sementara, pakar hukum pidana, Passalbessy menganalisa pelemahan KPK dengan revisi UU yang menuai gelombang protes memang jadi perdebatan. Salah satunya keberadaan dewan pengawas yang perannya nanti akan menghapus sebagian besar kewenangan pimpinan KPK.

Dia mengkhawatirkan adanya Pasal 47 tentang dewan pengawas dalam UU KPK yang baru akan mengganggu sistem kerja lembaga anti rasuah itu. Menurut dia, sebaiknya pasal soal dewan pengawas dan pasal lain yang dianggap meresahkan diuji ke MK.

"Dengan dimasukannya dewan pengawas maka secara otomatis akan mengganggu sistem kerja lembaga KPK baik dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan," tutur Passalbessy.

Baca: Jokowi Belum Bikin Perppu, Wadah Pegawai KPK Harap-harap Cemas

Sekretaris Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU) Pattimura, Sri Rizky Keya berpandangan saat ini langkah terbaik terkait polemik UU KPK yaitu dengan mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal yang bermasalah. Mempersiapkan dalil secara hukum dalam bentuk gugatan untuk diajukan ke MK sebagai solusi terbaik. Sebab, melihat dinamika yang ada, tampaknya Jokowi kemungkinan kecil menerbitkan perppu.

"Bagi kami langkah ini adalah langkah konstitusional yang putusannya bersifat final dan mengikat. Ketimbang harus menuntut agar Presiden mengeluarkan perppu," jelasnya.

Adapun merujuk ketentuan pembuatan peraturan perundangan, revisi UU KPK akan berlaku secara otomatis dalam waktu 30 hari. Artinya mulai berlaku UU KPK yang baru pada Kamis, 17 Oktober 2019. Meski Jokowi selaku presiden tidak mau menandatangani UU tersebut.

Sementara, dalam prosesnya DPR mengesahkan revisi UU KPK melalui paripurna yang digelar Selasa, 17 September 2019. Paripurna saat itu dipimpin salah satu Wakil Ketua DPR periode 2014-2019, Fahri Hamzah. Sementara, perwakilan pemerintah yang hadir saat itu adalah Menkumham Yasonna Laoly.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya